Kamis, 21 November 2013

MAKALAH SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI SULAWESI






BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam Di Sulawesi
Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo. Namun mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.
Sebelum ketiganya pergi, mereka teringat akan pesan dari raja di Pulau Kalimantan yang sempat mereka singgahi ketika menuju Pulau Celebes. Ketika itu sang raja menyarankan jika ingin menyebarkan agama Islam di jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan terlebih dahulu adalah mengislamkan raja Luwu. Karena menurut sang raja, Luwu merupakan kerajaan yang tertua dan yang disegani di jazirah Sulawesi.

Akhirnya mereka sepakat menuju ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa saat itu adalah La Pattiware Daeng Parabung (1587-1615). Mereka pun berlabuh di sebuah desa yang bernama Lapandoso, sesampainya di sana mereka lalu dipertemukan dengan Tandi Pau (Maddika Bua saat itu). Setelah melalui perbincangan yang panjang, akhirnya Maddika Bua mau menerima agama yang dibawa oleh ketiga Khatib tersebut asalkan tidak diketahui oleh sang Datu karena ia takut durhaka bila mendahului sang Datu.

Sebelum ketiganya berangkat ke Pattimang (pusat kerajaan Luwu waktu itu), ketiganya bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa Tana Rigella. Setelah mengislamkan penduduk Bua waktu itu, ketiganya pun diantar oleh Maddika Bua menuju Pattimang menghadap kepada sang Datu. Sesampainya di sana, mereka pun dipertemukan dengan Datu dan memberitahukan maksud kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam. Sang Datu pun meminta penjelasan kepada ketiga Khatib tersebut mengenai agama yang mereka bawa. Mendengar penuturan tamunya, Datu hanya tersenyum, ia memang sangat tetarik dengan agama yang diperkenalkan oleh ketiga Khatib itu. Apalagi konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep ketuhanan masyarakat Luwu..

Namun sang Datu tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud menguji kemampuan Khatib Sulaiman selaku pimpinan rombongan. Ia menganggap orang yang membawa agama yang besar pastilah memiliki kekuatan yang besar pula.. Datu Pattiware pun mengemukakan keinginannya tersebut kepada Khatib Sulaiman, sang khatib pun meluluskan keinginan sang Datu. Sesuai dengan kesepakatan, apa pun yang dilakukan sang Datu juga harus dilakukan oleh Khatib Sulaiman begitupun sebaliknya. Dan apabila Khatib Sulaiman sanggup melakukan semua yang dilakukan sang Datu, maka raja dan seluruh masyarakat Luwu akan memeluk agama Islam, namun jika tidak maka keduanya harus meninggalkan Tana Luwu.

Tibalah saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan, masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi lapangan dekat istana yang akan dijadikan sebagai arena pertarungan. Peralatan pertarungan pun telah disiapkan. Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai dengan kesepakatan, sang Datu lah yang terlebih dahulu maju. Dengan tenang, ia mengambil telur-telur tersebut dengan tangan kirinya dan meletakkan di tangan kanannya hingga melebihi tinggi pohon kelapa. Kini tiba giliran Khatib Sulaiman, dengan membaca basmalah ia mulai mengambil telur-telur itu dan menaruhnya di tangan kanannya seperti yang dilakukan oleh sang Datu. Rakyat Luwu yang menonton seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal yang sama dengan raja mereka. Bahkan sang Khatib menarik beberapa butir telur yang berada di tengah-tengah tanpa ada satupun telur yang jatuh. Melihat hal itu, sang Datu pun melakukan hal yang sama tanpa ada satu pun butir telur yang jatuh. Karena sang khatib mampu melakukan apa yang dilakukan oleh raja maka pertarungan kembali diteruskan.

Kali ini dua buah ember yang berisi air telah diletakkan di atas sebuah meja. Adu kekuatan kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa menumpahkan isinya. Sang datu pun terlebih dahulu maju, dengan tenang ia pun membalik ember berisi air itu tanpa menumpahkan airnya sedikitpun. Tiba giliran Khatib Sulaiman untuk melakukan hal yang sama dengan terlebih dahulu meminta izin kepada sang raja. Dengan mengucapkan basmalah, ia pun dapat melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sang Datu, bahkan ia dapat membelah air yang telah berbentuk cetakan itu dengan hati-hati. Melihat kejadian itu, sang Datu kembali maju dan melakukan hal yang sama.

Adu kekuatan diantara keduanya terus berlangsung dan seperi biasa diantara keduanya tidak ada yang kalah dan menang sampai matahari telah berada di atas kepala. Pertarungan pun dihentikan sejenak, ketiga Khatib itupun mengambil air wudhu dan melakukan shalat seraya berdoa memohon petunuk kepada Yang Maha Kuasa.

Setelah melaksanakan shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Datu Pattiware dan mengatakan kalau kekuatan mereka seimbang, diantara mereka tidak ada yang menang maupun kalah. Sang Datu pun bertanya, hal apa lagi yang bisa membuat ia percaya dan memeluk agama Islam?

Lantas sang khatib meminjam cincin raja Pattiware, ia lalu menuju dermaga sambil membawa cincin tersebut diikuti oleh raja dan masyarakat. Setibanya di dermaga, ia lalu melemparkan cincin tersebut dengan sekuat tenaga, wajah raja pun memerah namun Khatib Sulaiman mampu meredam kemarahan sang raja dan masyarakat. Sang Khatib lalu mengatakan kepada sang raja kalau cincin yang kini berada di laut insya Allah akan kembali dalam waktu satu purnama atau bahkan bisa lebih cepat.

Mendengar ucapan sang Khatib, Datu Pattiware benar-benar bingung, hal yang dialakukan oleh sang Khatib kali ini benar-benar tak sanggup dicerna oleh nalarnya. Ia lalu berkata kalau cincin itu benar-benar kembali, maka ia dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, kalau tidak kepala mereka akan dipenggal karena telah berbuat lancang. Ketiganya kemudian ditahan sampai cincin itu kembali.

Waktu terus berlalu, hingga tiba-tiba ada laporan bahwa cincin itu telah kembali dan berada dalam perut ikan yang besar. Lantas sang raja pun pergi ke dapur kerajaan untuk melihat kejadian itu. Ia sungguh tidak menyangka kalau cincinnya yang pernah dibuang Khatib Sulaiman telah kembali dan berada di dalam perut ikan. Sang raja lalu menanyakan darimana ikan itu di dapat oleh sang juru masak.

Sang juru masak mengatakan kalau tadi pagi ada seorang nelayan yang memberikan ikan tersebut kepada raja sebagai ungkapan syukur karena hasil tangkapannya banyak.

Sang Raja lalu memanggil ketiga Khatib yang ditahan tersebut dan mengatakan kesediaannya untuk memeluk agama yang mereka bawa seperti janji yang telah ia katakan sebelumnya. Ketiga khatib tersebut sujud syukur karena telah melalui tantangan terbesar dalam mengislamkan jazirah Sulawesi.

Setelah mendapat izin dari raja, ketiganya lalu berangkat mengislamkan daerah lain di jazirah Sulawesi. Setelah melaksanakan tugasnya, Khatib Sulaiman kembali ke Tana Luwu dan menetap hingga akhir hayatnya dan diberi gelar Dato’ Pattimang karena ia dikuburkan di desa Pattimang, sedangkan Khatib Bungsu menetap di Bulukumba dan diberi gelar Dato’ ri Tiro dan Khatib Tunggal menetap di kerajaan Gowa dan Tallo dan diberi gelar Dato’ ri Bandang.

DAFTAR PUSTAKA

Beni Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)
Disadur dari berbagai sumber















BAB II

PEMBAHASAN

 

A.SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI BEBERAPA KOTA DI SULAWESI


Makasar-Bugis
Dapat dipastikan bahwa pada tahun 1600 M, suku Makasar dan suku Bugis telah memeluk agama Isla, Suku Bugis dan suku Makasar ialah yang bertempat tinggal di bagian Selatan Barat Pulau Sulawesi. Orang-orang Bugis dan Makasar merupakan yang lebih maju dan terdiri dari pedagang yang kaya. Di samping itu, mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung.

Bersamaan dengan masuknya Islam ke Sulawesi Selatan ini, orang Portugis datang pula ke sana sambil menyiarkan agama Kristen. Saling berebut pengaruh antara Islam dan Kristen, namun penduduk asli Bugis dan Makasar masuk ke dalam Islam.

Alifuru-Minahasa
Penduduk di Alifuru banyak yang menganut kepercayaan animisme. Kehidupan mereka masih agak terbelakang. Suku Alifuru merupakan masyarakat penduduk di bagian Utara kepulauan Sulawesi. Begitu pula orang Minahasa kebanyakan mereka menganut agama Katolik yang dibawa orang Portugis. Pemerintah Portugis melarang orang Islam menyiarkan agama di kalangan oraang Alifuru dan orang Minahasa. Setelah Portugis digantikan oleh penjajah Belanda, mereka mengizinkan berdakwah Islam di sana dengan dibatasi boleh hanya bagi orang pribumi di sana.

Pada jaman penjajahan Belanda, penganut Katolik banyak yang pindah kepada Protestan. Karena mendapat hambatan dan dipersulit oleh penjajah maka perkembagan penyebaran Islam di kalangan penduduk di Sulawesi bagian Utara itu tidaklah sesubur seperti di Sulawesi bagian Selatan.


Gowa
Berita tentang agama Islam yang dianut oleh suku Makasar telah menjadi pembicaraan di kalangan orang-orang Gowa. Mereka telah mendengar betapa indahnya pemujaan orang Islam terhadap Tuhan di waktu mengerjakan shalat. Di samping itu, sampai pula kepada mereka berita tentang kegiatan orang Kristen mengembangkan agama mereka yang dibantu dan ditunjang oleh orang Portugis.

Orang Gowa mengirimkan utusan ke Aceh meminta bantuan tenaga guru yang dapat mengajar dan menjelaskan tentang agama Islam bagi orang-orang Gowa. Tidak berapa lama datanglah serombongan mubaligh dari Aceh untuk mengIslamkan orang Gowa. Kemudian missionaris Kristen pun berusaha menyiarkan agama Kristen dengan jalan menjelek-jelekkan agama Islam. Penyiaran agama Islam di Gowa dimulai pada abad 17. Orang Gowa masuk Islam dan menjadi penganut Islam yang baik.

Bone
Raja Gowa telah memeluk agama Islam beserta rakyatnya, sedangkan raja Bone belum Islam. Raja Gowa beserta rakyatnya dengan semangat beragama yang menyala-nyala ingin menyebarkan agamanya ke daerah lain. Pada suatu waktu terjadi suatu perselisihan antara raja Gowa dengan raja Bone. Raja Gowa menyampaikan kepada raja Bone bahwa dia dipandang tidak setaraf dengan raja Gowa, kecuali kalau dia bersama rakyatnya masuk Islam dan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu disampaikan oleh raja Bone kepada rakyatnya dan menurut rakyat Bone belum dapat mengakui kekalahan karena mereka belum pernah berperang.
Kemudian terjadi peperangan antara Gowa dan Bone. Gowa dapat mengalahkan kerajaan Bone. Dengan demikian raja Bone bersama rakyatnya masuk Islam. Bone diakui ibertaraf sama dengan kerajaan Gowa bersaudara karena seagama.

Tallo
Di sebelah Utara Gowa terletak daerah Tallo. Penyiar agama Islam di daerah Tallo tercatat seorang mubaligh yang bernama Khotib Tunggal pada tahun 1603 M.

Pengikut Khotib Tunggal ada dua macam, ada golongan yang benar-benar beriman dan mengharapkan kerajaan agama Islam dan sebagian lain mencari keuntungan keduniaan.












BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

B.       Perumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2.      Bagaimana Kerajaan Islam di Sulawesi
3.      Bagaimana Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.      Bagaimana Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2.      Untuk mengetahui Kerajaan Islam di Sulawesi
3.      Untuk Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.      Untuk mengetahui Bagaimana Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Awal Islam Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.



B.       Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
1.    Sultan Alaudin (1605-1639 M) raja pertama Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah negara maritim yang terkenal dengan perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi dan lImbo. Pada masa Sultan Alaudin berkuasa, Islam mengalami perkembangan pesat yang daerah kekuasaannya hampir mencakup seluruh daerah Sulawesi. Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
2.    Muhammad Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa selama 14 tahun.
3.    Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa selama 16 Tahun.

C.      Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
1.      Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah

2.      Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.

3.      Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4.      Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm.

Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.



D.      Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa  gelombang  emigran  orang-orang Bugis Makassar  ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode. , Pertama  berlangsung pada masa  sebelum  kawasan Sulawesi Selatan memasuki  proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat semenangjung  Sumatra, Malaka dan Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute  perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer, mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil  sebagai pedagang antar pulau dan sebagai nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai  mereka dapat dikatakan kelompok  the sea men atau orang laut.
Gelombang  kedua terjadi padamasa proses Islamisasi  sedang berlangsung di Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat  dengan gerakan politik yang si lancarkan Kerajaan Gowa  dan sekutu-sekutunya untuk menundukkan  kwasan-kawasan yang belum masuk Islam  dan sampai Islam diterima masyarakat setempat  konflik politik juga masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah  kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC . Masa inilah merupakan periode yang paling  banyak terjadi perpindahan orang-orang Bugis Makassar kesemenagjung Melayu.  Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini  berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak saja terdiri dari  masyarakat lapisan bawah  tatapi apat dikatakan terdiri dari  smua lapisan sosial
Dari ketiga gelombang yang disebutkan di atas,  gelombang terkhir inilah yang paling menarik,  masalahnya adalah karena faktor pemindahan  berkaitan erat dengan  akibat langsung peperangan  yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis Makassar  yang termasuk ke dalam  gelombang yang terakhir ini  dipimpin langsung oleh kelompok bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer  dan kekayaan yang mereka miliki  kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya  atau rakyat yang meninggalkan  kampung halamannya untuk merantau dengan tujuan  utamanya untuk melanjutkan  perjuangan melawan kekuasaan Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda  itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau  pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai Ambon dan di Selat Malaka  pantau Kaliman tan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan  “bajak laut”
Sejak kedatangan orang-orang Melayu di kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa) peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya. Peranan orang-orang Melayu di Kerajaan  Gowa misalnya, menyebabkan Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo membangun sebuah Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam. Adanya perkampungan para saudagara Melayu itu  membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa  dibantu juga oleh orang-orang Melayu dan  memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa. Hal itu dapat ditemukan dalam untaian kalimat  sebagai berikut:
‘Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap hadapan dalam pertemuan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam periode tahun .1546-1565 pada masa raja Gowa ke 10, seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak saat itu secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir th 1669 ketika kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
           Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh orang-orang Melayu Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI (1653-1669) adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman kebesaran Kerajaan Gowa. Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul : Syair Perang Makassar” mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.
Salah satu sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi ialah upayanya dalam menyebarkan Agama Islam dan penyebaran  dan penyebaran Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan Migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela  Turut serta dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar
Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati, Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana telah berdiri Perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga sekarang.

DAFTRAR PUSTAKA

Drs. Suwardi. 2006. LKS Merpati. Karanganyar : Graha Multi Grafika.
Siti Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Nico Thamiend R.M.P.B. Manus. 2000. Sejarah. Jakarta : Yudhistira.

KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Sejarah ini dapat terselesaikan.
Dengan mempelajari sejarah, manusia akan memperoleh banyak manfaat sehingga menjadi lebih arif dan bijak. Oleh karena itu, sejarah harus disusun secara jujur, obyektif, dan tidak direkayasa.
Dalam makalah disebutkan bahwa tujuan pelajaran sejarah nasional dan umum dimaksudkan untuk menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan, cinta tanah air, bangga sebagai warna negara Indonesia, serta memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa.
Makalah ini dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dari berbagai lapisan dalam mendalami, memahami sejarah nasional dan umum.
Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada guru pembimbing dan semua pihak yang telah membantu, sehingga makalah sejarah ini dapat terselesaikan dan dimanfaatkan.
Kami juga menyadari atas kekurangsempurnaan makalah ini. Suatu kehormatan apabila para pembaca yang budiman memberi masukan yang membangun. Terima kasih.


Pengakalan,    Nopember 2012


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.  Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A.  Sejarah Awal Islam Sulawesi
B.  Kerajaan Islam di Sulawesi
C.   Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
D.  Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar

DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Sulawesi menarik untuk dibahas, karena akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Dengan membahas proses masuk dan berkembangnya Islam di Sulawesi kita dapat mengetahui kerajaan-kerajaan dan raja yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam, tradisi dan bukti perkembangan Islam di Sulawesi, beserta cara agama Islam masuk ke Sulawesi. Perkembangan agama Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan agama Islam di Jawa dan Sumatera. Sebab pertentangan Islam terhadap kerajaan yang belum menganut agama Islam dilakukan demi kepentingan politik. Bersamaan dengan perkembangan agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam di Indonesia yaitu Demak, Pajang, Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. 
Pada dasarnya secara geografis dan kondisi alam wilayah Sulawesi lebih bersahabat dibandingkan wilayah Klaimantan, karena wilayah Sulawesi hampir sama seperti kondisi Jawa. Meskipun hubungan antar suku di wilayah Sulawesi kurang harmonis, namun dakwah tetap berkembang baik di wilayah Sulawesi Selatan. Kubu yang terkadang bertentangan adalah Bosowa atau Bone Soppeng, Wajo dengan suku Makasar. Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi selain Sulawesi Selatan seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara masih perlu ditingkatkan.

B.Rumusan Masalah
saDari latar belakang yang disebutkan di atas, dapatlah ditetapkan rumusan masal
sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya Islam?
2.Bagaimana proses masuknya Islam di Sulawesi?
3Apa saja bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi?
C.Pendekatan yang dilakukan
Jenis pendekatan  yang digunakan adalah :
·         Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan yang dilakukan melalui sisi sejarahnya. Pendekatan historis dalam  makalah ini melihat bagaimana Islam masuk di daerah Sulawesi. Dan proses perkembangannya.
·         Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan feonomenoligis merupakan pendekatan yang dilakukan dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.
D.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui keadaan  masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya Islam.
2.      Untuk mengetahui proses masuknya Islam di Sulawesi.
3.      Untuk mengetahui bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi.   
E.       Kegunaan
Ø  Makalah ini diharapkan mampu menambah bahan mata kuliah bagi mahasiswa Ushuludin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam khususnya mahasiswa jurusan Perbandingan Agama.
Ø  Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang masuk dan berkembangnya Islam di Sulawesi.
Ø  Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran bagi  mahasiswa khususnya dalam mata kuliah Sejarah Islam Indonesia.
F.    Kajian Pustaka
Tulisan ini dihadirkan dengan sedikit berbeda dari tulisan yang lain. Dalam tulisan lain hanya berfokus pada awal masuknya saja. Namun dalam hal ini ditambahkan beberapa peninggalan sejarah.
Metode yang dilakukan dalam menyusun makalah ini adalah dengan metode Librarian Research (Penelitian Perpustakaan). Hal ini dimungkinkan karena menyangkut sejarah. Persamaan tulisan ini dengan tulisan lain adalah mengenai awal dan berkembangnya Islam di Sulawesi.
Posisi pemakalah dalam tulisan ini adalah sebagai peneliti dengan mengangkat tema sejarah. Tulisan ini hadir berdasarkan perbedaan dengan penulis lain. Namun ada juga hal baru. Sehingga diharapkan mampu menyempurnakan tulisan yang lain.
G.   Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri atas lima bab, yaitu:
BAB  I: PENDAHULUAN
-          Latar Belakang Masalah
-          Rumusan Masalah
-          Pendekatan yang Dilakukan
-          Tujuan
-          Kegunaan
-          Kajian Pustaka
-          Sistematika Penulisan
BAB II: KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA  ISLAM
-          Keadaan masyarakat Bone
-          Keadaan masyarakat Buton
BAB III: PROSES MASUKNYA ISLAM
-          Proses masuknya Islam di Bone
-          Proses masuknya Islam di Buton
BAB IV: BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM DI SULAWESI
Bukti-bukti peninggalan sejarah islam yang ada di Sulawesi diantaranya adalah masjid Hila, batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang, obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado dan lainnya.
BAB V: PENUTUP
-          Kesimpulan
-          Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA



BAB II
KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA ISLAM
a.    Keadaan Masyarakat Sulawesi sebelum hadirnya Islam
Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih  membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif.  Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya  agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawa oleh para  pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gow, Somba Opu.

Di Mangallekana
Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Perekonomian
Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
.
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
BAB III
PROSES MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI

A. Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.

B. Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.

Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang.
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu
maupun berkelompok.

Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan
kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.

BAB IV
BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM
Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di antrara bukti-bukti tersebut:
1.      Dalam catatan Lontara Bilang tertulis bahwa raja pertama  yang memeluk agama Islam tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu Islam masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa Tallo.
2.      Masjid Hila yaitu masjid pertama Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-Maulana Khotib Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk Tiro membuat masjid Hila.
3.      Batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15 meter, adalah makam Karaeng Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng Raja Daeng Malaja.
4.      Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado berupa makam tua yang terdapat di kmpleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
-          Kijing  (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang  dengan berbagai bentuk variasi.
-          Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing. Nisan ada yang dipasang  pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
-          Cungkup, berupa bangunan  pelindung beratap untuk melindungi makam dari hujan.
5.      Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya agama Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa Al-Qur’an kuno saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa naskah Kutika dan Naskah Lontara.
  1. Masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.  
BAB V
PENUTUP
    1. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
      1. Sebelum hadirnya Islam, masyarakat di Sulawesi telah menganut agama Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha, serta animism. Kaya tradisi dan kebudayaan kuno. Kemudian setelah hadirnya Islam di Sulawesi terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalal segi hubungan social antar penduduk serta perdagangan, tetapi tidak menghapus tradisi yang ada.
      2. Islam dating di Sulawesi dan menyebar secara damai dan santun. Pertama hadir pada abad ke-15 Masehi di Kerajaan Gowa di Daerah Mangalekana,  yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, India, Cina, dan Melayu ke Ibukota Kerajaan Gowa, Somba Opu.kemudian disebarkan oleh tiga Datuk dari Sumatera yaitu: Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Bandang. Aliran atau corak yang dibawa adalah sufistik dan tasauf. Karena selain selain mereka ahli dalam bidang sufistik dan tasauf, hal ini pun sesuai dengan masyarakat yang lebih mmenyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Setelah Islam berkembang di Sulawesi  Selatan lambat laun terus menyebar ke seluruh daerah di pulau Sulawesi.
    1. Saran-saran
Untuk lebih menambah wawasan dan memperbaiki makalah ini perlulah kiranya saran yang membangun dari para teman-teman maupun dari kalangan yang berkomitmen terhadap Sejarah  Islam Indonesia.


Daftar Pustaka
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-sulawesi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
http://dadank22.blogspot.com/2008/11/menelusuri-awal-masuknya-islam-di.html
yatim, Badri .1993.Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II.Jakarta:Raja Grafindo Persada
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia.Yogyakarta:Gama University Press
Harun, Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII / M.Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera






 

Kumpulan Aplikasi Lengkap Komputer,Handphone dan Pengetahuan Pendidikan Published @ 2014 by Ipietoon