BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Masuknya Islam Di Sulawesi
Konon
ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia
bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah
menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga
mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo.
Namun mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk
mencari daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.
Sebelum ketiganya pergi, mereka teringat akan
pesan dari raja di Pulau Kalimantan yang sempat mereka singgahi ketika menuju
Pulau Celebes. Ketika itu sang raja menyarankan jika ingin menyebarkan agama
Islam di jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan terlebih dahulu
adalah mengislamkan raja Luwu. Karena menurut sang raja, Luwu merupakan
kerajaan yang tertua dan yang disegani di jazirah Sulawesi.
Akhirnya
mereka sepakat menuju ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa saat itu
adalah La Pattiware Daeng Parabung (1587-1615). Mereka pun berlabuh di sebuah
desa yang bernama Lapandoso, sesampainya di sana mereka lalu dipertemukan
dengan Tandi Pau (Maddika Bua saat itu). Setelah melalui perbincangan yang
panjang, akhirnya Maddika Bua mau menerima agama yang dibawa oleh ketiga Khatib
tersebut asalkan tidak diketahui oleh sang Datu karena ia takut durhaka bila
mendahului sang Datu.
Sebelum
ketiganya berangkat ke Pattimang (pusat kerajaan Luwu waktu itu), ketiganya
bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa Tana Rigella.
Setelah mengislamkan penduduk Bua waktu itu, ketiganya pun diantar oleh Maddika
Bua menuju Pattimang menghadap kepada sang Datu. Sesampainya di sana, mereka
pun dipertemukan dengan Datu dan memberitahukan maksud kedatangannya untuk
menyebarkan agama Islam. Sang Datu pun meminta penjelasan kepada ketiga Khatib
tersebut mengenai agama yang mereka bawa. Mendengar penuturan tamunya, Datu
hanya tersenyum, ia memang sangat tetarik dengan agama yang diperkenalkan oleh
ketiga Khatib itu. Apalagi konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep
ketuhanan masyarakat Luwu..
Namun
sang Datu tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud menguji
kemampuan Khatib Sulaiman selaku pimpinan rombongan. Ia menganggap orang yang membawa
agama yang besar pastilah memiliki kekuatan yang besar pula.. Datu Pattiware
pun mengemukakan keinginannya tersebut kepada Khatib Sulaiman, sang khatib pun
meluluskan keinginan sang Datu. Sesuai dengan kesepakatan, apa pun yang
dilakukan sang Datu juga harus dilakukan oleh Khatib Sulaiman begitupun
sebaliknya. Dan apabila Khatib Sulaiman sanggup melakukan semua yang dilakukan
sang Datu, maka raja dan seluruh masyarakat Luwu akan memeluk agama Islam,
namun jika tidak maka keduanya harus meninggalkan Tana Luwu.
Tibalah
saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan, masyarakat pun berbondong-bondong
mendatangi lapangan dekat istana yang akan dijadikan sebagai arena pertarungan.
Peralatan pertarungan pun telah disiapkan. Untuk pertarungan pertama, mereka
diharuskan menyusun telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai dengan
kesepakatan, sang Datu lah yang terlebih dahulu maju. Dengan tenang, ia
mengambil telur-telur tersebut dengan tangan kirinya dan meletakkan di tangan
kanannya hingga melebihi tinggi pohon kelapa. Kini tiba giliran Khatib
Sulaiman, dengan membaca basmalah ia mulai mengambil telur-telur itu dan
menaruhnya di tangan kanannya seperti yang dilakukan oleh sang Datu. Rakyat
Luwu yang menonton seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal
yang sama dengan raja mereka. Bahkan sang Khatib menarik beberapa butir telur
yang berada di tengah-tengah tanpa ada satupun telur yang jatuh. Melihat hal
itu, sang Datu pun melakukan hal yang sama tanpa ada satu pun butir telur yang
jatuh. Karena sang khatib mampu melakukan apa yang dilakukan oleh raja maka
pertarungan kembali diteruskan.
Kali
ini dua buah ember yang berisi air telah diletakkan di atas sebuah meja. Adu
kekuatan kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa menumpahkan isinya. Sang
datu pun terlebih dahulu maju, dengan tenang ia pun membalik ember berisi air
itu tanpa menumpahkan airnya sedikitpun. Tiba giliran Khatib Sulaiman untuk
melakukan hal yang sama dengan terlebih dahulu meminta izin kepada sang raja.
Dengan mengucapkan basmalah, ia pun dapat melakukan hal yang sama dengan yang
dilakukan oleh sang Datu, bahkan ia dapat membelah air yang telah berbentuk
cetakan itu dengan hati-hati. Melihat kejadian itu, sang Datu kembali maju dan
melakukan hal yang sama.
Adu
kekuatan diantara keduanya terus berlangsung dan seperi biasa diantara keduanya
tidak ada yang kalah dan menang sampai matahari telah berada di atas kepala.
Pertarungan pun dihentikan sejenak, ketiga Khatib itupun mengambil air wudhu
dan melakukan shalat seraya berdoa memohon petunuk kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah
melaksanakan shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Datu Pattiware dan mengatakan
kalau kekuatan mereka seimbang, diantara mereka tidak ada yang menang maupun
kalah. Sang Datu pun bertanya, hal apa lagi yang bisa membuat ia percaya dan
memeluk agama Islam?
Lantas
sang khatib meminjam cincin raja Pattiware, ia lalu menuju dermaga sambil
membawa cincin tersebut diikuti oleh raja dan masyarakat. Setibanya di dermaga,
ia lalu melemparkan cincin tersebut dengan sekuat tenaga, wajah raja pun
memerah namun Khatib Sulaiman mampu meredam kemarahan sang raja dan masyarakat.
Sang Khatib lalu mengatakan kepada sang raja kalau cincin yang kini berada di
laut insya Allah akan kembali dalam waktu satu purnama atau bahkan bisa lebih
cepat.
Mendengar
ucapan sang Khatib, Datu Pattiware benar-benar bingung, hal yang dialakukan
oleh sang Khatib kali ini benar-benar tak sanggup dicerna oleh nalarnya. Ia
lalu berkata kalau cincin itu benar-benar kembali, maka ia dan seluruh rakyat
Luwu akan memeluk dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, kalau tidak
kepala mereka akan dipenggal karena telah berbuat lancang. Ketiganya kemudian
ditahan sampai cincin itu kembali.
Waktu
terus berlalu, hingga tiba-tiba ada laporan bahwa cincin itu telah kembali dan
berada dalam perut ikan yang besar. Lantas sang raja pun pergi ke dapur
kerajaan untuk melihat kejadian itu. Ia sungguh tidak menyangka kalau cincinnya
yang pernah dibuang Khatib Sulaiman telah kembali dan berada di dalam perut
ikan. Sang raja lalu menanyakan darimana ikan itu di dapat oleh sang juru
masak.
Sang
juru masak mengatakan kalau tadi pagi ada seorang nelayan yang memberikan ikan
tersebut kepada raja sebagai ungkapan syukur karena hasil tangkapannya banyak.
Sang
Raja lalu memanggil ketiga Khatib yang ditahan tersebut dan mengatakan
kesediaannya untuk memeluk agama yang mereka bawa seperti janji yang telah ia
katakan sebelumnya. Ketiga khatib tersebut sujud syukur karena telah melalui
tantangan terbesar dalam mengislamkan jazirah Sulawesi.
Setelah
mendapat izin dari raja, ketiganya lalu berangkat mengislamkan daerah lain di
jazirah Sulawesi. Setelah melaksanakan tugasnya, Khatib Sulaiman kembali ke
Tana Luwu dan menetap hingga akhir hayatnya dan diberi gelar Dato’ Pattimang
karena ia dikuburkan di desa Pattimang, sedangkan Khatib Bungsu menetap di
Bulukumba dan diberi gelar Dato’ ri Tiro dan Khatib Tunggal menetap di kerajaan
Gowa dan Tallo dan diberi gelar Dato’ ri Bandang. 
DAFTAR
PUSTAKA
Beni
Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)
Disadur dari berbagai sumber
BAB II
PEMBAHASAN
A.SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI BEBERAPA KOTA DI SULAWESI
Makasar-Bugis
Dapat dipastikan bahwa pada tahun 1600 M, suku Makasar dan suku Bugis telah memeluk agama Isla, Suku Bugis dan suku Makasar ialah yang bertempat tinggal di bagian Selatan Barat Pulau Sulawesi. Orang-orang Bugis dan Makasar merupakan yang lebih maju dan terdiri dari pedagang yang kaya. Di samping itu, mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung.
Dapat dipastikan bahwa pada tahun 1600 M, suku Makasar dan suku Bugis telah memeluk agama Isla, Suku Bugis dan suku Makasar ialah yang bertempat tinggal di bagian Selatan Barat Pulau Sulawesi. Orang-orang Bugis dan Makasar merupakan yang lebih maju dan terdiri dari pedagang yang kaya. Di samping itu, mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung.
Bersamaan dengan masuknya Islam ke Sulawesi Selatan ini, orang Portugis datang pula ke sana sambil menyiarkan agama Kristen. Saling berebut pengaruh antara Islam dan Kristen, namun penduduk asli Bugis dan Makasar masuk ke dalam Islam.
Alifuru-Minahasa
Penduduk di Alifuru banyak yang menganut kepercayaan animisme. Kehidupan mereka masih agak terbelakang. Suku Alifuru merupakan masyarakat penduduk di bagian Utara kepulauan Sulawesi. Begitu pula orang Minahasa kebanyakan mereka menganut agama Katolik yang dibawa orang Portugis. Pemerintah Portugis melarang orang Islam menyiarkan agama di kalangan oraang Alifuru dan orang Minahasa. Setelah Portugis digantikan oleh penjajah Belanda, mereka mengizinkan berdakwah Islam di sana dengan dibatasi boleh hanya bagi orang pribumi di sana.
Pada jaman penjajahan Belanda, penganut Katolik banyak yang pindah kepada Protestan. Karena mendapat hambatan dan dipersulit oleh penjajah maka perkembagan penyebaran Islam di kalangan penduduk di Sulawesi bagian Utara itu tidaklah sesubur seperti di Sulawesi bagian Selatan.
Gowa
Berita tentang agama Islam yang dianut oleh suku Makasar telah menjadi pembicaraan di kalangan orang-orang Gowa. Mereka telah mendengar betapa indahnya pemujaan orang Islam terhadap Tuhan di waktu mengerjakan shalat. Di samping itu, sampai pula kepada mereka berita tentang kegiatan orang Kristen mengembangkan agama mereka yang dibantu dan ditunjang oleh orang Portugis.
Orang Gowa mengirimkan utusan ke Aceh meminta bantuan tenaga guru yang dapat mengajar dan menjelaskan tentang agama Islam bagi orang-orang Gowa. Tidak berapa lama datanglah serombongan mubaligh dari Aceh untuk mengIslamkan orang Gowa. Kemudian missionaris Kristen pun berusaha menyiarkan agama Kristen dengan jalan menjelek-jelekkan agama Islam. Penyiaran agama Islam di Gowa dimulai pada abad 17. Orang Gowa masuk Islam dan menjadi penganut Islam yang baik.
Bone
Raja Gowa telah memeluk agama Islam beserta rakyatnya, sedangkan raja Bone belum Islam. Raja Gowa beserta rakyatnya dengan semangat beragama yang menyala-nyala ingin menyebarkan agamanya ke daerah lain. Pada suatu waktu terjadi suatu perselisihan antara raja Gowa dengan raja Bone. Raja Gowa menyampaikan kepada raja Bone bahwa dia dipandang tidak setaraf dengan raja Gowa, kecuali kalau dia bersama rakyatnya masuk Islam dan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu disampaikan oleh raja Bone kepada rakyatnya dan menurut rakyat Bone belum dapat mengakui kekalahan karena mereka belum pernah berperang.
Kemudian
terjadi peperangan antara Gowa dan Bone. Gowa dapat mengalahkan kerajaan Bone.
Dengan demikian raja Bone bersama rakyatnya masuk Islam. Bone diakui ibertaraf
sama dengan kerajaan Gowa bersaudara karena seagama.
Tallo
Di sebelah Utara Gowa terletak daerah Tallo. Penyiar agama Islam di daerah Tallo tercatat seorang mubaligh yang bernama Khotib Tunggal pada tahun 1603 M.
Pengikut Khotib Tunggal ada dua macam, ada golongan yang benar-benar beriman dan mengharapkan kerajaan agama Islam dan sebagian lain mencari keuntungan keduniaan.
Tallo
Di sebelah Utara Gowa terletak daerah Tallo. Penyiar agama Islam di daerah Tallo tercatat seorang mubaligh yang bernama Khotib Tunggal pada tahun 1603 M.
Pengikut Khotib Tunggal ada dua macam, ada golongan yang benar-benar beriman dan mengharapkan kerajaan agama Islam dan sebagian lain mencari keuntungan keduniaan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.     
Latar Belakang.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses
perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara
lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) 
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman
penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M,
penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat
bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut
disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.
Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti
Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas
Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan
terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat.
Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar
diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya
menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam
seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain
karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan,
juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap
kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan
tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. 
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat
Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun.
Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara
orang Arab dengan pribumi.
B.      
Perumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah masuknya
Awal Islam Sulawesi
2.      Bagaimana Kerajaan Islam di Sulawesi
3.      Bagaimana Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.      Bagaimana Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
C.     
Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Sejarah
masuknya Awal Islam Sulawesi
2.      Untuk mengetahui Kerajaan Islam di Sulawesi
3.      Untuk Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.      Untuk mengetahui Bagaimana
Kedatangan  Orang Melayu di
Tanah Bugis Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
A.     
Sejarah Awal Islam Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah
menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun
motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar
dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company
dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah
ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al
Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603.
Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang
bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun
Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah
pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu
terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib
Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui
dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para
ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah
yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
B.      
Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya
dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan
Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo.
Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini
pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di
Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi
kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
1.    Sultan Alaudin (1605-1639 M) raja pertama Islam di Gowa-Tallo.
Kerajaan ini adalah negara maritim yang terkenal dengan perahu-perahu layarnya
dengan jenis Pinisi dan lImbo. Pada masa Sultan Alaudin berkuasa, Islam
mengalami perkembangan pesat yang daerah kekuasaannya hampir mencakup seluruh
daerah Sulawesi. Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan
digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
2.    Muhammad Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa selama 14 tahun.
3.    Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari
Muhammad Saed. Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai
puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung,
Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa selama 16 Tahun.
C.      Peninggalan
sejarah islam di Sulawesi
1.      Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah
tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di
sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang
sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu
andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang
tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap
ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu
tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah
2.      Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak
berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim
(1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso,
Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal
(asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih
90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai
singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak
realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung
konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada
pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang
menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
3.      Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di
sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup
dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar,
berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup
berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan,
Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure,
Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh
Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru
per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan
kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705,
tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan
di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang
Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat
dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena
para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai
sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan
intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan
kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7,
Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki
keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia
sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah,
Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah
menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah
dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4.      Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng
dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu
kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan
susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai
260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
D.     
Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah
ditemukan, dapat dikatakan bahwa 
gelombang  emigran  orang-orang Bugis Makassar  ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode. ,
Pertama  berlangsung pada masa  sebelum 
kawasan Sulawesi Selatan memasuki 
proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat
semenangjung  Sumatra, Malaka dan
Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute  perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok
Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer,
mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil  sebagai pedagang antar pulau dan sebagai
nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai  mereka dapat dikatakan kelompok  the sea men atau orang laut.
Gelombang  kedua terjadi padamasa
proses Islamisasi  sedang berlangsung di
Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat  dengan gerakan politik yang si lancarkan
Kerajaan Gowa  dan sekutu-sekutunya untuk
menundukkan  kwasan-kawasan yang belum
masuk Islam  dan sampai Islam diterima
masyarakat setempat  konflik politik juga
masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah 
kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC . Masa inilah merupakan
periode yang paling  banyak terjadi
perpindahan orang-orang Bugis Makassar kesemenagjung Melayu.  Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini  berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak
saja terdiri dari  masyarakat lapisan
bawah  tatapi apat dikatakan terdiri
dari  smua lapisan sosial
Dari ketiga gelombang yang disebutkan
di atas,  gelombang terkhir inilah yang
paling menarik,  masalahnya adalah karena
faktor pemindahan  berkaitan erat
dengan  akibat langsung peperangan  yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis Makassar  yang termasuk
ke dalam  gelombang yang terakhir
ini  dipimpin langsung oleh kelompok
bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer 
dan kekayaan yang mereka miliki 
kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya  atau rakyat yang meninggalkan  kampung halamannya untuk merantau dengan
tujuan  utamanya untuk melanjutkan  perjuangan melawan kekuasaan
Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda  itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau  pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai
Ambon dan di Selat Malaka  pantau Kaliman
tan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan  “bajak laut” 
Sejak kedatangan orang-orang Melayu di
kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa) peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan
penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya. Peranan orang-orang
Melayu di Kerajaan  Gowa misalnya, menyebabkan
Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo membangun sebuah
Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar Melayu agar
mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.
Adanya perkampungan para saudagara Melayu itu 
membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa 
dibantu juga oleh orang-orang Melayu dan 
memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa. Hal itu dapat
ditemukan dalam untaian kalimat  sebagai
berikut:
‘Kamilah orang-orang Melayu yang
mengajar anak negeri duduk berhadap hadapan dalam pertemuan adat, mengajar
menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata cara berpakaian dan
berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam periode tahun .1546-1565 pada
masa raja Gowa ke 10, seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat
terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I
Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak
saat itu secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh
orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir th 1669
ketika kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
           Jabatan
penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh orang-orang Melayu
Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI
(1653-1669) adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman
kebesaran Kerajaan Gowa. Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul : Syair
Perang Makassar” mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.
Salah satu sumbangan utama orang-orang
Melayu di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi ialah upayanya dalam
menyebarkan Agama Islam dan penyebaran 
dan penyebaran Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan
Migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh
seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela  Turut serta dengannya kemanakannya suami
istri yang bergelar
Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang
bergelar Putri Senapati, Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba
Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana telah berdiri Perkampungan Melayu
asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga
sekarang.
DAFTRAR PUSTAKA
Drs.
Suwardi. 2006. LKS Merpati.
Karanganyar : Graha Multi Grafika.
Siti
Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum.
Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Nico
Thamiend R.M.P.B. Manus. 2000. Sejarah.
Jakarta : Yudhistira.
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Sejarah ini
dapat terselesaikan.
Dengan mempelajari sejarah, manusia akan memperoleh banyak
manfaat sehingga menjadi lebih arif dan bijak. Oleh karena itu, sejarah harus
disusun secara jujur, obyektif, dan tidak direkayasa.
Dalam makalah disebutkan bahwa tujuan pelajaran sejarah
nasional dan umum dimaksudkan untuk menanamkan pemahaman tentang perkembangan
masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan, cinta
tanah air, bangga sebagai warna negara Indonesia, serta memperluas wawasan
hubungan masyarakat antar bangsa.
Makalah ini dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dari berbagai lapisan dalam mendalami, memahami sejarah nasional dan
umum.
Kami
sampaikan ucapan terima kasih kepada guru pembimbing dan semua pihak yang telah
membantu, sehingga makalah sejarah ini dapat terselesaikan dan dimanfaatkan.
Kami juga menyadari atas kekurangsempurnaan makalah ini.
Suatu kehormatan apabila para pembaca yang budiman memberi masukan yang
membangun. Terima kasih.
Pengakalan,    Nopember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
| 
   
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
B.
   Perumusan Masalah 
C. Tujuan
  Penulisan 
BAB II PEMBAHASAN 
A.  Sejarah
  Awal Islam Sulawesi 
B.  Kerajaan Islam di Sulawesi 
C.   Peninggalan sejarah islam di Sulawesi 
D.  Kedatangan  Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar 
DAFTAR PUSTAKA 
BAB
  I 
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Masalah 
Perkembangan
  Islam di Sulawesi menarik untuk dibahas, karena akan menambah wawasan dan
  ilmu pengetahuan yang luas. Dengan membahas proses masuk dan berkembangnya
  Islam di Sulawesi kita dapat mengetahui kerajaan-kerajaan dan raja yang
  berpengaruh terhadap perkembangan Islam, tradisi dan bukti perkembangan Islam
  di Sulawesi, beserta cara agama Islam masuk ke Sulawesi. Perkembangan agama
  Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan agama Islam di Jawa dan
  Sumatera. Sebab pertentangan Islam terhadap kerajaan yang belum menganut
  agama Islam dilakukan demi kepentingan politik. Bersamaan dengan perkembangan
  agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam di Indonesia yaitu Demak, Pajang,
  Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.   
Pada
  dasarnya secara geografis dan kondisi alam wilayah Sulawesi lebih bersahabat
  dibandingkan wilayah Klaimantan, karena wilayah Sulawesi hampir sama seperti
  kondisi Jawa. Meskipun hubungan antar suku di wilayah Sulawesi kurang
  harmonis, namun dakwah tetap berkembang baik di wilayah Sulawesi Selatan.
  Kubu yang terkadang bertentangan adalah Bosowa atau Bone Soppeng, Wajo dengan
  suku Makasar. Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi selain Sulawesi Selatan
  seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara masih perlu
  ditingkatkan.  
B.Rumusan Masalah 
saDari latar belakang yang
  disebutkan di atas, dapatlah ditetapkan rumusan masal 
sebagai
  berikut: 
1. Bagaimana keadaan masyarakat
  Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya Islam? 
2.Bagaimana proses masuknya Islam di
  Sulawesi? 
3Apa saja bukti-bukti peninggalan
  sejarah Islam di Sulawesi? 
C.Pendekatan yang dilakukan 
Jenis pendekatan  yang digunakan adalah : 
·        
  Pendekatan Historis 
Pendekatan historis merupakan
  pendekatan yang dilakukan melalui sisi sejarahnya. Pendekatan historis dalam  makalah ini melihat bagaimana Islam masuk
  di daerah Sulawesi. Dan proses perkembangannya. 
·        
  Pendekatan Fenomenologis 
Pendekatan feonomenoligis
  merupakan pendekatan yang dilakukan dengan melihat fenomena-fenomena yang
  terjadi di dalam masyarakat.  
D.    
  Tujuan  
1.     
  Untuk mengetahui keadaan  masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah
  datangnya Islam. 
2.     
  Untuk mengetahui proses masuknya
  Islam di Sulawesi. 
3.     
  Untuk mengetahui bukti-bukti
  peninggalan sejarah Islam di Sulawesi.   
   
E.      
  Kegunaan  
Ø 
  Makalah ini diharapkan mampu
  menambah bahan mata kuliah bagi mahasiswa Ushuludin, Studi Agama, dan
  Pemikiran Islam khususnya mahasiswa jurusan Perbandingan Agama. 
Ø 
  Makalah ini diharapkan dapat
  menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang masuk dan berkembangnya Islam di
  Sulawesi. 
Ø 
  Makalah ini diharapkan dapat
  menjadi sumber pembelajaran bagi 
  mahasiswa khususnya dalam mata kuliah Sejarah Islam Indonesia.  
F.    Kajian Pustaka 
Tulisan
  ini dihadirkan dengan sedikit berbeda dari tulisan yang lain. Dalam tulisan
  lain hanya berfokus pada awal masuknya saja. Namun dalam hal ini ditambahkan
  beberapa peninggalan sejarah.  
Metode
  yang dilakukan dalam menyusun makalah ini adalah dengan metode Librarian
  Research (Penelitian Perpustakaan). Hal ini dimungkinkan karena menyangkut
  sejarah. Persamaan tulisan ini dengan tulisan lain adalah mengenai awal dan
  berkembangnya Islam di Sulawesi. 
Posisi
  pemakalah dalam tulisan ini adalah sebagai peneliti dengan mengangkat tema
  sejarah. Tulisan ini hadir berdasarkan perbedaan dengan penulis lain. Namun
  ada juga hal baru. Sehingga diharapkan mampu menyempurnakan tulisan yang
  lain. 
G.   Sistematika Penulisan 
Makalah ini terdiri atas lima bab,
  yaitu: 
BAB  I: PENDAHULUAN 
-         
  Latar Belakang Masalah 
-         
  Rumusan Masalah 
-         
  Pendekatan yang Dilakukan  
-         
  Tujuan 
-         
  Kegunaan 
-         
  Kajian Pustaka 
-         
  Sistematika Penulisan 
BAB II: KEADAAN MASYARAKAT
  SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA 
  ISLAM 
-         
  Keadaan masyarakat Bone 
-         
  Keadaan masyarakat Buton 
BAB III: PROSES MASUKNYA ISLAM 
-         
  Proses masuknya Islam di Bone 
-         
  Proses masuknya Islam di Buton 
BAB IV: BUKTI-BUKTI PENINGGALAN
  SEJARAH ISLAM DI SULAWESI 
Bukti-bukti peninggalan sejarah
  islam yang ada di Sulawesi diantaranya adalah masjid Hila, batu karang
  berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang, obyek tinggalan
  arkeologi Islam yang berada di kota Manado dan lainnya.  
BAB V: PENUTUP  
-         
  Kesimpulan 
-         
  Saran-saran 
DAFTAR PUSTAKA 
BAB II 
KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA
  ISLAM 
a.    Keadaan
  Masyarakat Sulawesi sebelum hadirnya Islam 
Kronologis keberadaan Islam
  sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih 
  membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih
  objektif.  Kehadiran budaya Islam
  pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya  agama Islam sebagai agama resmi kerajaan.
  Agama Islam dibawa oleh para  pedagang
  Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gow,
  Somba Opu. 
Di Mangallekana 
Pada
  abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai
  Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang
  memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di
  sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan
  masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah
  berdiri di Sulsel.  
Ribuan
  pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke
  pulau. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes
  atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun
  1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman
  Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah
  terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri
  di Makassar. 
Beberapa
  ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman
  dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang,
  datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para
  ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal
  Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar. 
Pusat-pusat
  dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke
  wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu
  dan Paloppo. 
Kesultanan
  Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
  sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
  memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
  peperangan yang dikenal dengan Perang
  Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak
  Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone
  memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC
  yang pernah dilakukannya di abad ke-17. 
Pada
  awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
  Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
  Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
  Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya
  bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa
  dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar
  lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang
  pertama adalah Batara Guru dan saudaranya 
Memerintah
  pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa
  ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar
  sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di
  kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara
  kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian
  merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang
  mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat
  hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan
  dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah
  seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu
  dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa
  pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan
  ikan banyak. 
Dalam
  sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
  tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
  kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16
  dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna
  diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang
  menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga. 
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama
  kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton. 
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara
  Kartagama.
  Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk
  ri Bandang
  yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M.
  Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae
  Sangia i-Gola
  dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun
  kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/
  1538 M. 
Riwayat
  lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
  pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh
  Abdul Wahid
  di Buton. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di
  Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam. 
Selain
  pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut
  bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan
  bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai
  belayar seperti orang Bugis juga. 
Orang-orang
  Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya
  dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang
  sekitar 150 ton. 
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan
  atau Lakilaponto atau Halu
  Oleo.
  Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya
  pindah ke Adonara (Nusa Tenggara
  Timur).
  Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu
  atas yang
  termasuk dalam pemerintahan Buton. 
Di
  Pulau Batu
  atas, Buton, Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam
  Pasai yang kembali
  dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam
  Pasai
  menganjurkan Syeikh
  Abdul Wahid
  bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh
  Abdul Wahid
  setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan
  menjadi Sultan
  Buton oleh Syeikh
  Abdul Wahid
  pada tahun 948 H/1538 M. 
Walau
  bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada
  sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh
  Abdul Wahid
  merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu
  Oleo
  dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan
  gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa
  Pendiri Agama Islam. 
Dalam
  riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
  memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
  didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
  Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. 
Ketika
  diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000
  di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek
  tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton.
  Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana
  Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton
  yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia
  Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam
  Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat
  Islam ialah tahun 1538 Miladiyah. 
Jika
  kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang
  disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh
  Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M,
  Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah
  berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya
  kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun
  948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan. 
Yang
  menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
  ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948
  H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton,
  sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Kampung
  Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti
  Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu
  sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun
  memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang
  belum diketahui oleh para penyelidik. 
Namun
  walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada
  hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa
  orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate. 
Jika
  kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak
  Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan
  pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh.
  Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton
  lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau
  bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan. 
Semua
  perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan
  Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
  Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan,
  juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan
  lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan
  Indonesia 1945. 
Pemerintahan 
Kerajaan
  Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan
  bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu
  Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja
  Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama
  Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum. 
Kerajaan
  Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang
  secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
  Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton.
  Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton
  ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep
  kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan
  kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka.
  Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka,
  namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan
  kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan
  pilihan di antara yang terbaik. 
Kelompok
  Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk
  mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa
  sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
  Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
  kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya
  juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
  kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka
  sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara
  Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau
  sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep
  trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama
  bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang
  pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar
  sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat
  kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini
  dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan
  proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton. 
Politik 
Masa
  pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
  Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin
  hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian
  juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang
  yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian
  ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan
  Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain
  bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar
  Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi,
  tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan
  serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk
  72 Kadie (Wilayah Kecil). 
Masyarakat 
Masyarakat
  Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai
  yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang
  dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri.
  Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton.
  Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka.
  Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang
  berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa
  Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa
  tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena
  perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat
  mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau
  Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip
  dengan gamelan yang terdapat di Jawa. 
Imam-imam
  yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab.
  Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan
  dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat
  tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton.
  Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali
  memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama.
  Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu
  kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan
  agama. 
Dapat
  dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka
  menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan
  atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama.
  Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari
  Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan
  Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara. 
Seluruh
  golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem
  putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan
  kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya,
  berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut,
  maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem
  yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta
  maupun perang saudara. 
Mereka berkumpul di tanah Buton
  sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan
  Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh
  raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan
  dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat
  yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian
  tersebut singgah dan menetap. 
Perekonomian 
Pedagang
  dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan
  Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui
  Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan
  dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di
  selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi.
  Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua.
  Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga
  telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah
  kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung
  jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku
  kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif). 
Hukum
  dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan
  maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang
  memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah
  jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan
  diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai
  meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli. 
Disamping itu juga dibentuk sistem
  pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa),
  empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta
  empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). 
. 
Kesultanan
  Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan
  kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2. 
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan
  lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte. 
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone
  terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk
  meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé. 
BAB III 
PROSES MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI 
A. Melalui Pedagang 
Kalau kita melihat dari sumber
  sejarah, bahwa penyebaran Islam di 
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat. B. Pengaruh Tionghoa 
Sebagaimana dicatat dalam sumber
  sejarah bahwa, Islam di Jawa juga  
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke kepulauan nusantara terutama di Maluku. Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran). Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu maupun berkelompok. 
Hak Istimewa 
Pada
  masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang  
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau. Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan 
kerajaan-kerajaan
  yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di  
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590) bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar Istana Kerajaan Gowa. 
Islam
  di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang  
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial. 
BAB IV 
BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH
  ISLAM 
Banyak terdapat bukti-bukti
  peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di antrara bukti-bukti
  tersebut: 
1.     
  Dalam catatan Lontara Bilang
  tertulis bahwa raja pertama  yang
  memeluk agama Islam tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari
  Kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban,
  dan Gresik. Oleh karena itu Islam masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa
  Tallo. 
2.     
  Masjid Hila yaitu masjid pertama
  Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-Maulana Khotib
  Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk Tiro
  membuat masjid Hila. 
3.     
  Batu karang berbentuk bukit karang
  kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15 meter, adalah makam Karaeng
  Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng Raja Daeng Malaja. 
4.     
  Obyek tinggalan arkeologi Islam
  yang berada di kota Manado berupa makam tua yang terdapat di kmpleks
  pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur
  yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu: 
-         
  Kijing  (jirat), dasar yang berbentuk
  persegi panjang  dengan berbagai bentuk
  variasi. 
-         
  Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan
  di atas kijing. Nisan ada yang dipasang 
  pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki. 
-         
  Cungkup, berupa bangunan  pelindung
  beratap untuk melindungi makam dari hujan. 
5.      Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya agama
  Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa Al-Qur’an kuno
  saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah Palu
  bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa naskah
  Kutika dan Naskah Lontara. 
 
BAB V 
PENUTUP 
 
Kesimpulan dari makalah ini
  adalah: 
 
Untuk lebih menambah wawasan dan
  memperbaiki makalah ini perlulah kiranya saran yang membangun dari para
  teman-teman maupun dari kalangan yang berkomitmen terhadap Sejarah  Islam Indonesia.  
Daftar Pustaka 
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-sulawesi/ 
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton 
http://dadank22.blogspot.com/2008/11/menelusuri-awal-masuknya-islam-di.html 
yatim,
  Badri .1993.Sejarah Peradaban Islam :
  Dirasah Islamiyah II.Jakarta:Raja Grafindo Persada 
Abdullah,
  Taufik. 1990. Sejarah Lokal di
  Indonesia.Yogyakarta:Gama University Press 
Harun,
  Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII / M.Yogyakarta:
  Kurnia Kalam Sejahtera 
 | 
 










0 komentar:
Posting Komentar