1. KASUS
TRISAKTI
Ekonomi
Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas
Trisakti.
Seorang
mahasiswi tergeletak di jalan setelah pecah bentrokan antara petugas keamanan
dan para mahasiswa Universitas Trisakti dalam unjuk keprihatinan di depan
Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (12/5/1998) petang]] Tragedi
Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12
Mei
1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Mereka
melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung
DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka
dihambat oleh blokade dari Polri–militer
datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya,
pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya
aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung
di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.
Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada
dilokasi pada saat itu adalah Brigade
Mobil Kepolisian RI, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara
Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat
orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis serta
puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana,
Heri Hertanto,
Hafidin Royan,
dan Hendriawan Sie.
Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat
vital seperti kepala, leher, dan dada.
Meskipun pihak aparat keamanan
membantah telah menggunakan peluru tajam,
hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Inilah
sekilas dari apa yang telah terjadi 12 Mei 1998 di Jakarta yang mewakili apa
yang terjadi di Indonesia.
Tragedi
Trisakti sangat terkenal, disini para mahasiswa menjadi korban akan rezim
Soeharto. Dalam penertiban aksi unjuk rasa ini ternyata para aparat keamanan
tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Penemuan 4 mayat sebagai
korban aksi ini memecah emosi mahasiswa dan masyarakat. Aparat keamanan
melanggar hak asasi dari para mahasiswa.
2. Kasus Marsinah
Adalah ikon buruh perempuan yang menjadi korban kekerasan aparat militer dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia ditemukan mati secara mengenaskan pada 8 Mei 1993 dalam usia 24 tahun setelah “hilang” selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Hasil otopsi yang dilakukan RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, menyebutkan bahwa penyebab kematiannya diakibatkan penganiayaan berat terhadap dirinya.Marsinah bekerja sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan studi di Fakultas Hukum. Ia berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik tempatnya bekerja. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi anggota aktivis buruh. Bersama teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal (SPSI). Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992.
Di Sidoarjo ia aktif membela hak buruhyang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya.
Kematian Marsinah meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat Marsinah bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya, divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang ditahan pihak Kodim.
Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Hingga kini belum ada upaya serius untuk membongkar kematian Marsinah.
Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Kasus yang menimpa Marsinah ini kemudian kembali terjadi di tahun 1997 yang menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad M. Syarifuddin alias Udin. Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award.
3. Peristiwa
Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
Peristiwa
Tanjung Priok ini berawal dari hegemoni ideologi Pancasila oleh rejim Suharto
pada akhir tahun 1970an. Rejim Suharto setelah menyingkiran gerakan politik
kiri memandang organisasi-organisasi Islam politik sebagai musuh utamanya.
Organisasi Islam politik disebut sebagai kelompok “ekstrim kanan“ yang
mengancam kesejahteraan masyarakat. Mereka menentang kebijakan-kebijakan
seperti indoktrinasi ideology di institusi-institusi pendidikan atau
perencanaan perundang-undangan asas tunggal, dimana kebijakan tersebut memaksa
partai-partai dan organisasi-organisasi untuk menerima Pancasila sebagai
satu-satunya dasar ideologi mereka.
Kelompok
islam menentang karena tidak mau menempatkan agamanya di posisi ke dua.
Demikian juga di Tanjung Priok, sebuah daerah pelabuhan di sebelah utara
Jakarta, pada awal tahun 1984 muncul sebuah gerakan perlawanan. Amir Biki
seorang pengusaha dan mubaligh, mengorganisir beberapa tabligh akbar dimana
dalam acara tersebut terdapat kotbah-kotbah kritis tentang korupsi, dominasi ekonomi
masyarakat indonesia keturunan tionghoa dan perencanaan perundang-undangan asas
tunggal.
4.
Penculikan
aktivis 1997/1998
adalah peristiwa penghilangan orang
secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan
Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tahun 1998.
Peristiwa penculikan ini dipastikan
berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan
menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama
periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara
mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun
dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih
hilang hingga hari ini. dan penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan
Jendral tertinggi ABRI, Bapak Wiranto.
Sembilan aktivis yang dilepaskan
adalah:
- Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998
- Haryanto Taslam ,
- Pius Lustrilanang, diculik di panpan RSCM, 2 Februari 1998
- Faisol Reza, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
- Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
- Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
- Aan Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
- Mugianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
- Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998
Ke-13 aktivis yang masih hilang dan
belum kembali berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI
Pro Mega, Mega
Bintang, dan mahasiswa.
- Petrus Bima Anugrah (mahasiswa Unair dan STF Driyakara, aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998)
- Herman Hendrawan (mahasiswa Unair, hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998)
- Suyat (aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari 1998)
- Wiji Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang diJakarta pada 10 Januari 1998)
- Yani Afri (sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 april 1997)
- Sonny (sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati. Hilang diJakarta pada 26 April 1997)
- Dedi Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
- Noval Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
- Ismail (sopir Deddy Hamdun. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
- Ucok Mundandar Siahaan (mahasiswa Perbanas, diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta)
- Hendra Hambali (siswa SMU, raib saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998)
- Yadin Muhidin (alumnus Sekolah Pelayaran, sempat ditahan Polres Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 14 Mei 1998)
- Abdun Nasser (kontraktor, hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta)
Mugiyanto, Nezar Patria, Aan
Rusdianto (korban yang dilepaskan) tinggal satu rumah di rusun Klender bersama
Bimo Petrus (korban yang masih hilang). Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati
(korban yang dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban yang masih hilang)
diculik setelah ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di YLBHI pada 12
Maret 1998.
5. Operasi
militer Indonesia di Aceh 1990-1998
Operasi
militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi
kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus
1998 melawan gerakan
separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode
tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah
Operasi Militer" (DOM), dimana Tentara Nasional Indonesia diduga
melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan
sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh.[2]
Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan
eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan
pembakaran desa.[3]
Amnesty International menyebut
diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy"
bagi GAM.[4]
Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM
dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa.[4]
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan [5]
dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun
1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.[1]
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir
seluruh personil TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie
pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
6. Kasus
Konflik Sampit
Kasus Konflik Sampit adalah
pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia,
berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini
dimulai di kota Sampit,
Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi,
termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak
asli dan warga migran Madura dari pulau
Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari
2001 ketika dua
warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan
lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan
tempat tinggal.[3]
Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.[4]Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
7. KONFLIK POSO
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada
desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari
identitas agama dan suku.Untuk
seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang
terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa
menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima
diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan
masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang
melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh
beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami
ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun
1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim,
yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap
menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi
apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan
masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa
Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal
Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale.
Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde
Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis
hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan
pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar.
Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso.
Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota
keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan
yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar,
yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso.
Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso
berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan
dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa
bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada
kerusuhan pertama dan kedua.
Pola
ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik
itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat
banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang,
benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan
bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh
berondongan senjata api.
Pola
keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan
pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang
kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua
berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan
bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
8.
Kasus
Pembantaian di Mesuji (April 2011)
Kasus ini bermula dari sengketa lahan perkebunan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA dengan Warga Mesuji yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. karena sengketa ini terjadi pelanggaran HAM Berat.
Perih, luka, pedih dan miris rasanya kalau kita lihat video kasus pembantaian di mesuji banyak tubuh tanpa kepala, anggota badan kehilangan tubuhnya, kepala yang kehilangan tubuh dan kenapa kasus kayak gini masih saja terjadi di jaman yang semodern ini.
Kasus ini bermula dari sengketa lahan perkebunan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA dengan Warga Mesuji yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. karena sengketa ini terjadi pelanggaran HAM Berat.
Perih, luka, pedih dan miris rasanya kalau kita lihat video kasus pembantaian di mesuji banyak tubuh tanpa kepala, anggota badan kehilangan tubuhnya, kepala yang kehilangan tubuh dan kenapa kasus kayak gini masih saja terjadi di jaman yang semodern ini.
9.
Kasus Munir ( Pejuang HAM )
Munir Said Thalib (lahir di Malang,
Jawa Timur,
8 Desember
1965 – meninggal
di Jakarta di
dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September
2004 pada umur 38
tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia Imparsial.Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
10. Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz atau Peristiwa 12 November)
Insiden
Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian
Santa Cruz atau Peristiwa 12
November) adalah penembakan pemrotes Timor Timur
di kuburan Santa Cruz di
ibu kota Dili pada 12 November
1991.
Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia
pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan
Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan
delegasi parlemen
dari Portugal,
yang masih diakui oleh PBB
secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan
setelah Jakarta
keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe
adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.
Contoh
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Berikut
ini adalah beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Adapun contoh kasus pelanggarah HAM yang akan dipublikasikan meliputi kasus
pelanggaran HAM yang sudah diajukan ke sidang pengadilan.
1.
Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1984 dengan jumlah korban sebanyak 74 orang. Peristiwa
ini ditandai dengan penyerangan terhadap masa yang
berunjuk rasa, dan penyelesaiannya sudah berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2003 hingga 2004.
berunjuk rasa, dan penyelesaiannya sudah berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2003 hingga 2004.
2.
Penculikan Aktivis 1998
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1984-1998 dengan jumlah korban sebanyak 23 orang.
Peristiwa ini ditandai dengan penghilangan secara paksa oleh pihak Militer
terhadap para aktivis pro-demokrasi. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di
Pengadilan Militer untuk anggota tim mawar.
3.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus
penembakan mahasiswa Trisakti terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah korban
sekitar 31 orang. Peristiwa ini tidandai dengan penembakan aparat terhadap
mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Penyelesaian kasus ini sudah dilaksanakan
di Pengadilan Militer bagi pelaku lapangan.
4.
Kerusuhan Timor-Timur Pasca JajakPendapat
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1999 dengan jumlah korban sebanyak 97 orang. Peristiwa
ini ditandai dengan Agresi Militer dan penyelesaiannya sudah dilakukan di
Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2002 hingga 2003.
5.
Peristiwa Abepura, Papua
Kasus
pelanggaran HAM ini terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah korban sebanayak 63
orang. Peristiwa ini ditandai dengan penyisiran secara membabi buta terhadap
pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Penyelesaian kasus ini sudah
dilakukan di Pengadilan HAM di Makassar.
6. Kekerasan
Terhadap Anak
Contoh
: seperti dialami Ira (5) tahun, ia hidup bagai sebatang kara karena harus
menghabiskan waktunya tanpa ada keceriaan. Mamanya yang sejak 2 tahun lalu
bekerja di sebuah perusahaan, selalu asyik dengan kesibukannya yang terus
menempuk dan sering kali pulang terlambat bahkan sampai larut malam dan tidak
ada waktu sedikitpun untuk Ira yang sangat membutuhkan belaian dan kasih sayang
seorang Ibu.
Irma
(24) tahun ibu muda itu, yang secara ekonomi sudah mapan sudah tidak mau ambil
pusing urusan anak, semua keperluan untuk Ira diserahkan sepenuhnya pada
pembantunya, mulai dari menyiapkan makan, membawa ke dokter saat sakit,
menyiapkan baju sekolah dan semua tetek bengek semua diambil alih Ibu pembantu,
tidur pun dengan ibu pembantu.
Bahkan
Irma yang tidak ingin karirnya terganggu urusan anak, sudah tidak segan lagi
meyerahkan kedudukan sebagai Mama bagi Ira terhadap Ibu pembantunya. Suatu
ketika Irma memembelikan mobil khusus pembantunya untuk digunakan
mengantar Ira ke sekolah. Ibu Ijah (pembantu) yang biasanya tampil lugu dengan
kebaya khasnya kini berubah kebih nyenrik karena harus menyetir mobil untuk
menantar Ira kesekolah.
Ira (6)
yang tidak paham skenario kehidupan seperti yang terjadi dalam keluarganya,
tidak bisa berbuat apa-apa selain harus menerima kenyataan itu, walaupun secara
psikologis ia merasakan ada kehampaan dalam dirinya tanpa kasih sayang seorang
mama yang seharusnya menjadi haknya. (contoh ini hanyalah fiktif) sumber
:http://www.eraberita.com/2013/02/contoh-kasus-pelanggaran-ham-di.html
7. Pembunuhan
Aktivis Buruh Wanita, Marsinah
Marsinah
merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang
terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah
bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa,
mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia
aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang
dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993
Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di sebuah hutan di Dusun
Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas
penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah meninggal
karena penganiayaan berat.
8. Penculikan
Aktivis 1997/1998
Salah
satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia yaitu kasus penculikan aktivis
1997/1998. Kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis
pro-demokrasi, sekitar 23 aktivis pro-demokrasi diculik. Peristiwa ini terjadi
menjelang pelaksanaan PEMILU 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Kebanyakan aktivis
yang diculik disiksa dan menghilang, meskipun ada satu yang terbunuh. 9 aktivis
dilepaskan dan 13 aktivis lainnya masih belum diketahui keberadaannya sampai
kini. Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan disiksa oleh para
anggota militer/TNI. Kasus ini pernah ditangani oleh komisi HAM.
9. Penembakan
Mahasiswa Trisakti
Kasus
penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada para
mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan
militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti sedang
melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis Finansial Asia pada
tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Peristiwa ini
dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa mengalami
luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan meninggal karena
ditembak peluru tajam oleh anggota polisi dan militer/TNI. Kasus ini masuk
dalam daftar catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, dan pernah diproses.
10. Pembantaian
Santa Cruz/Insiden Dili
Kasus
ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian
yang dilakukan oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di
Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991.
Kebanyakan warga sipil yang sedang menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman
Santa Cruz ditembak oleh anggota militer Indonesia. Puluhan demonstran yang
kebanyakkan mahasiswa dan warga sipil mengalami luka-luka dan bahkan ada yang
meninggal. Banyak orang menilai bahwa kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan
oleh anggota TNI dengan melakukan agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk
menyatakan Timor-Timur ingin keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan membentuk negara sendiri.
Kasus
Pelanggaran Ham Yang Terjadi Di Maluku
Konflik
dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5
bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan
relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua,
Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota
Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi
sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi
dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah –
daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan
masyarakat biasa).
Penyusup
masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah.
Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah
pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat
masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih
tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat
konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka –
luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta
terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi
pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat
kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam
upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya
Daerah Operasi Militer di Ambon.
dan
juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila
Darurat Sipil dicabut.
Banyak
orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang
terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik
serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi
sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga
antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang
menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang
terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang
terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi
sendiri.
Wilayah
pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini
terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan
pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan
pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi
menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang
mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini
biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1
bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa
ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan
sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari
konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah,
masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak
membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat
anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif
terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat
Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan
tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga
yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum
ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang
diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya
(sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi
tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini
digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
0 komentar:
Posting Komentar