Sejarah surat kabar
SURAT KABAR
Ide
surat kabar sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap
harinya, kejadian sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang
disebut dengan “Acra Diurna”, yang terjemahan bebasnya adalah “Kegiatan
hari”. Kemudian Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak di abad ke-15,
maka buku-buku pun mulai diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu
pula halnya dengan surat kabar.
Surat kabar pertama kali dibuat
di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and
Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin
Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit
sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah,
tetapi cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan
Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin
terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para
pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan
berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha
itu dikontrol ketat.
Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar itupun tidak sama seperti surat kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat kabar dikelola dalam abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai politik yang saling bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat berita secara objektif., kecuali untuk menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson dituduh sebagai penjahat terbesar oleh koran-koran dari lawan partainya.
Apapun situasinya, rakyat hanya
menginginkan Amandemen dalam konstitusi yang akan menjamin hak
koran-koran ini untuk mengungkapkan kebohongan yang terburuk sekalipun
tanpa takut dibrendel oleh pemerintah. Presiden John Adams membredel
koran ”The New Republik”. Akibatnya partai Federal pecah dan sebaliknya
menguatkan posisi Jefferson. Aksi bredel-membredel ini sampai membuat
keheranan seorang menteri bangsa Prusia yang berkunjung ke Kantor
Jefferson. Secara kebetulan, ia membaca koran dari partai Federalis
yang isinya meyerang Jefferson habis-habisan. Kritik-kritik keras tidak
hanya menyerang Washington, Jefferson, John Adams ataupun James
Medison. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai
politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya
mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet, seorang
berkebangsaanSkotlandia melakukanrevolusinisasi terhadap bisnis surat
kabar pada1835. Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston
sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan surat kabar sendiri.
Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar.
Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan
mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya
sendiri.
”The Herald” dan Bennet
memperlihatkan kepada Amerika dan dunia tentang bagaimana cara
mendapatkan berita. Tidak lama kemudian Bennet pun berhasil meraih
kesuksesan dan membangun kantor beritanya sama seperti kantor-kantor
perusahaan surat kabar yang banyak kita jumpai sekarang. Dia juga sudah
menempatkan koresponden-korespondennya di luar negeri di mana
beritanya dikirim dengan usaha paket milik Bennet sendiri, dari
pelabuhan New York ke kantornya di kota. Dia juga yang pertama-tama
mendirikan biro di Washington, dan memanfaatkan jasa telegraf yang baru
saja ditemukan.
Sejak itulah berita sudah mulai
dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak berdasarkan
kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman editorial.
Isi korannya yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan
sosial masyarakat New York memang tidak bisa dijamin keobyektifatnya,
tetapi setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan
koran-koran sebelumnya.
Enam tahun setelah ”Herald”
beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greelymeng mengeluarkan koran
“The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika.
Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka
baru sempat membaca korannya setelah berminggu- minggu kemudian. Bagi
orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat
itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Koran besar yang ketiga pun
muncul di New York di tahun 1851, ketika Henry J. Raymond mendirikan
koran dengan nama “The New York Times”, atas bantuan mitra usahanya,
George Jones. Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk menerbitkan
koran yang non partisan kepada pemerintah maupun perusahaan bisnis.
Beruntung, saat itu Presiden Lincoln tidak pernah melakukan pembredelan
terhadap koran-koran yang menyerangnya.
Setelah serentetan perang
saudara di Amerika usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar
biasa. Koran-koran pun mulai muncul di bagian negara-negara selain New
York dan Chicago. Di selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi
Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan “Kansas City Star” yang
mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi dari sebuah sebuah
surat koran. Bahkan pemilik Star, Rockhill Nelson bersumpah untuk
mengangkat kota Kansas dari “kubangan lumpur” dan berhasil. Di barat,
Jurnalisme Flamboyan diwakili oleh “Denver Post” dan koran-koran San
Fransisco.
Di New York, surat kabar
dianggap sebuah bisnis yang bakal menjanjikan. Charles Dana membeli
surat kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya
cerita sendiri tentang berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit
manusia, itu bukan berita. Tapi kalau manusia menggigit anjing, itu
baru namanya berita”.
James Gordon Bennet Junior (anak
Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival utama Dana. Bennet
Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik. Prestasinya yang
paling terkenal adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley, seorang
wartawan London, untuk mencari David Livingstone, seorang misionaris
yang hilang di hutan.
SedangkanPulit
zer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal sejak
jaman perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik
yang lebih baik dibanding para pendahulunya. Editorialnya yang bersifat
perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya yang serba
menarik, dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti
yang pernah dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali
menerbitkan koran mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis
terbaik yang pernah ada.
Pada
tahun1892 supremasi Pulitzer ditantang oleh William Randolp Hearst
lewat koran ”World”. Dalam hal inovasi dan keberanian, ”World”-nya
Hearst lebih dari ”World”-nya Pulitzer. Bukan itu saja, koran Hearst
isi beritanya jauh lebih flamboyan daripada koran Pulitzer. Hearst
banyak mempekerjakan orang-orang terbaiknya Pulitzer. Dia mempekerjakan
Richard Outcault, kartunis, Pulitzer dan mendorongnya untuk menciptakan
sebuah featuer bernama ”The Yellow Kid”, yang menandai lahirnya cergam
komik di Amerika.
Pada masa perang antara Amerika dan Spanyol, kedua koran ini berteriak paling keras mendukung Amerika Serikat untuk terjun perang, memimpin suara rakyat dengan padan suara jurnalisme dalam skala nasional, dan memojokkan ke dalam konflik yang tidak terhindarkan. Selanjutnya di perang Amerika-Kuba, keduanya mengalihkan kompetisinya dalam usaha meliput perang. Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World” malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang menyebutPul itzer sebagai ”wartawannya surat kabar”. Sebaliknya, Hearst bersama koran-koran lainnya terpukul keras ketika depresi besar terjadi. Tetapi usaha majalahnya yang paling terkemuka, yakni ”Good Housekeeping” dan ”cosmopolitan” tetap terus berkembang pesat. Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda politik, lalu menjadi perusahaan perorangan yang disertai keterkenalan dan kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang menjadi bisnis yang tidak segemerlap dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak dikenal.
Perubahan
ini memberikan dampak baru. Ketikaiklan mulai menggantikan sirkulasi
(penjualan langsung) sebagai sumber dana utama bagi sebuah surat kabar,
maka minat para penerbit jadi lebih identik dengan minat para
masyarakat bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling
bagus tidaklah sebesar ketika peloporan. Walaupun begitu, perang
sirkulasi masih terjadi pada tahun 1920-an, tetapi tujuan jangka panjang
mereka adalah untuk mencapai perkembngan penghasilan dari sektor iklan.
Sebagai badan usaha, yang semakin banyak ditangani oleh para pengusaha,
maka surat kabar semakin kehilangan pamornya seperti yang dimilikinya
pada abad ke-19.
Namun, surat kabar kini
mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang
mapan kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang
saling menjatuhkan ataupun bisnis yang individualis, melainkan menjadi
media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
Kenaikan koran-koran ukuran
tabloid di tahun1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily News”,
memberikan suatu dimensi baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang
menjadi kegembiraan besar bagi kehidupan surat kabar, terutama dalam
meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang layak mendapat
perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya
sindikat-sindikat10, maka koran- koran kecil bisa memanjakan pembacanya
dengan materi editorial, informasi, dan hiburan. Sebab kalau tidak,
koran-koran kecil itu tentu tidak dapat mengusahakan materi-materi
tersebut, lantaran biaya untuk itu tidaklah sedikit.
Tahun1950, industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang, koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian dari kehidupan manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu membedakan dirinya dari media lainnya seperti televisi dan radio.
Tahun1950, industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang, koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian dari kehidupan manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu membedakan dirinya dari media lainnya seperti televisi dan radio.
Sejarah Surat kabar di indonesia
Pada
dasarnya, sejarah surat kabar di Indonesia terbagi dalam dua babak
yakni babak pertama yang biasa disebut babak putih dan babak kedua
antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional.
Kedua babak inilah yang amat berperan dalam perkembangan surat kabar
di Indonesia. Babak pertama adalah babak putih, yaitu saat Indonesia
masih dalam keadaan terjajah oleh kolonialisme Belanda. Disebut babak putih karena surat kabar pada waktu itu mutlak milik orang-orang Eropa,
berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi pembaca berbahasa Belanda.
Kontennya hanya seputar kehidupan orang-orang Eropa dan tidak mempunyai
kaitan kehidupan pribumi. Babak ini berlangsung antara tahun 1744-1854.
Babak kedua yang berlangsung antara tahun 1854 hingga Kebangkitan
Nasional secara kasar dapat dibagi dalam tiga periode, yakni:
Antara Tahun 1854-1860
Dalam
periode ini surat kabar dengan bahasa Belanda masih memegang peranan
pening dalam dunia pers Indonesia, namun surat kabar dengan bahasa
Melayu telah terbit bernama Slompret Melajoe.
Antara tahun 1860-1880
Surat kabar dengan bahasa pra-Indonesia dan Melayu
mulai banyak bermunculan tetapi yang menjadi pemimpin surat
kabar-surat kabar ini semuanya adalah orang-orang dari peranakan Eropa.
Antara tahun 1881 sampai Kebangkitan Nasional
Periode
ini mempunyai ciri tersendiri karena para pekerja pers terutama para
redakturnya tidak lagi dari peranakan Eropa tetapi mulai banyak
peranakan Tionghoa dan Indonesia atau biasa disebut dengan pribumi.
Lima Periode Surat Kabar Indonesia
Surat
kabar di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang yang secara
singkat terbagi dalam enam periode, yakni zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan zaman reformasi. Berikut uraian singkat keenam periode bersejarah tersebut:
Zaman Belanda
Pada
tahun 1744 dilakukanlah percobaan pertama untuk menerbitkan media
massa dengan diterbitkannya surat kabar pertama pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya mempunyai masa hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828 diterbitkanlah Javasche Courant
di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang
dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Mesin cetak pertama di
Indonesia juga datang melalui Batavia (Jakarta) melalui seorang Nederland bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
Di Surabaya sendiri pada periode ini telah terbit Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Sedang di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant.
Secara umum serat kabar-surat kabar yang muncul saat itu tidak
mempunyai arti secara politis karena cenderung pada iklan dari segi
konten. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar tiap harinya.
Setiap surat kabar yang beredar harulah melalui penyaringan oleh pihak
pemerintahan Gubernur Jenderal di Bogor. Tidak hanya itu, surat kabar Belandapun terbit di daerah Sumatera dan Sulawesi. Di Padang terbit Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makasar (Ujung Pandang) terbit Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Pada tahun 1885 di seluruh
daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam
bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti, Bintang
Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor),
Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan
surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Zaman Jepang
Saat
wajah penjajah berganti dan Jepang memasuki Indonesia, surat
kabar-surat kabar yang beredar di Indonesia diambil alih secara
pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan penghematan
namun yang sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang memperketat
pengawasan terhadat isi surat kabar. Kantor Berita Antara
diambil alih dan diubah menjadi kantor berita Yashima dengan berpusat
di Domei, Jepang. Konten surat kabar dimanfaatkan sebagai alat
propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang. Wartawan
Indonesia saat itu bekerja sebagai pegawai sedang yang mempunyai
kedudukan tinggi adalah orang-orang yang sengaja didatangkan dari
Jepang.
Zaman Kemerdekaan
Ketika
pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda
pencitraan pemerintah, Indonesiapun melakukan hal yang sama untuk
melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Edi Soeradi
melakukan propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada
pada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno.
Dalam perjalanannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali mengalami
pembredelan dimana selama pembredelan tersebut para pegawai kemudian
ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat
kabar perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi
Samsudin Sutan Makmr dan Rinto Alwi dimana surat kabar tersebut
menampilkan “pojok” dan “Bang Golok” sebagai artikel. Surat kabar
lainnya yan terbit pada masa ini adalah Soeara Indonesia, Pedoman Harian
yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung), Kedaulatan Rakyat
(Bukittinggi), Demokrasi (Padang) dan Oetoesan Soematra (Padang).
Zaman Orde Lama
Setelah
dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden
Soekarno, terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers.
Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak
diperketat yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis
Indonesia untuk melakukan slowdown atau mogok secara halus oleh
para buruh dan pegawai surat kabar. Karyawan pada bagian setting
melambatkan pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar tidak
terisi menjelang batas waktu cetak (deadline). Pada akhirnya
kolom tersebut diisi iklan gratis. Hal ini menimpa surat kabar Soerabaja
Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada periode ini banyak terjadi
kasus antara surat kabar pro PKI dan anti PKI.
Zaman Orde Baru
Pada
periode ini, surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali
mendapatkan pribadi awalnya, seperti Kedaulatan Rakyat yang pada zaman
orde lama harus berganti menjadi Dwikora. Hal ini juga terjadi pada
Pikiran Rakyat di Bandung. Bahkan pers kampuspun mulai aktif kembali.
Namun dibalik itu semua, pengawasan dan pengekangan pada pers terutama
dalam hal konten tetap diberlakukan. Pemberitaan yang dianggap merugikan
pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan dilakukan pencabutan SIUP
seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik
serta majalah Tempo dan Editor. Pers lagi-lagi dibayangi dalam
kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam
membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial
terhadap kinerja pemerintah. Pembredalanpun marak pada periode ini.
KESIMPULAN
Sejarah
buku, majalah, dan surat kabar tidak terlepas dari sejarah
perkembangan komunikasi dan teknologi komunikasi. Dan perkembangan
sejarah ini juga tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan (misalnya
politik, negara, dsb). Oleh sebab itu, perlu kita sadari bahwa
pentingnya untuk mengetahui perkembangan sejarah buku, majalah, dan
surat kabar sebagai bahan literatur kita.
Sumber : http://jurnalistikumsu.wordpress.com
Sumber : http://jurnalistikumsu.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar