Selasa, 03 November 2015

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL DENGAN SISTEM ANGLO SAXON

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL DENGAN SISTEM ANGLO SAXON 

 

1.     Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental


Asal usul sistem Hukum Eropa Kontinental berasal dari Hukum Romawi Kuno sebagai modalnya. Sistem hukum ini muncul pada abad ke ketiga belas di Jerman dan sejak saat itu senantiasa mengalami perkembangan, perubahan, atau menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini yang mengalami penyempurnaan yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah sehingga disebut juga sistem Hukum Romawi Jerman.

Pengkajian hukum Romawi di universitas menjadikan hukum romawi sebagai hukum yang dimodernisasi untuk menghadapi zamannya. Dalam pengkajian ini didominasi oleh pemikiran mazhab hukum alam.

Sistem hukum eropa kontinental cenderung aksiomatik dan kepada hukum yang dibuat secara sadar oleh manusia atau hukum perundang-undangan.

Sistem hukum ini mula-mula berlaku di daratan eropa barat yaitu di Jerman kemudian ke Prancis dan selanjutnya ke Belanda kemudian di negara-negara sekitarnya. Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya.

Sistem hukum ini memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah hampir semua aspek kehidupan masyarakat serta sengketa-sengketa yang terjadi telah tersedia undang-undang/hukum tertulis, sehingga kasus-kasus yang timbul dapat diselesaikan dengan mudah, disamping itu dengan telah tersedianya berbagai jenis hukum tertulis akan lebih menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyelesaiannya. Sedang segi negatifnya, banyak kasus yang timbul sebagai akibat dari kemajuan zaman dan peradaban manusia, tidak tersedia undang-undangnya. Sehingga kasus ini tidak dapat diselesaikan di pengadilan. Hukum tertulis pada suatu saat akan ketinggalan zaman karena sifat statisnya. Oleh karena itu, sistem hukum ini tidak menjadi dinamis dan penerapannya cenderung kaku karena tugas hakim hanya sekedar sebagai alat undang-undang. Hakim tak ubahnya sebagai abdi undang-undang yang tidak memiliki kewenangan melakukan penafsiran guna mendapatkan nilai keadilan yang sesungguhnya.


2.     Sejarah Sistem Hukum Anglo Saxon


David dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut :

  1. Sebelum Penaklukan Norman di tahun 1066;

  2. Periode kedua membentang dari 1066 sampai ke penggabungan Tudors (1485). Pada periode ini berlangsunglah pembentukan Common Law, yaitu penerapan sistem hukum tersebut secara luas dengan menyisihkan kaidah-kaidah lokal;

  3. Dari tahun 1485 sampai 1832. Pada periode ini berkembanglah suatu sistem kaidah lain yang disebut “kaidah equity”. Sistem kaidah ini berkembang di samping Common Law dengan fungsi melengkapi dan pada waktu-waktu tertentu juga menyaingi Common Law.

  4. Dari tahun 1832 sampai sekarang. Ini merupakan periode modern bagi Common Law. Pada periode ini ia mengalami perkembangan dalam penggunaan hukum yang dibuat atau perundang-undangan. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada perkembangan yang tradisional. Untuk menghadapi kehidupan modern, Common Law semakin menerima campur tangan pemerintah dan badan-badan administrasi.

Common law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku lokal, adalah hukum yang berlaku untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan atau deskripsi yang demikian itu belum terjadi pada tahun 1066, seperti dapat dilihat pada periodisasi di muka. “The assemblies of free men” yang disebut Country of Hendred Courts hanya menerapkan kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri merupakan karya yang semata-mata dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya disebut The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka bersidang sejak abad ketiga belas.

Kekuasaaan raja sebagai hakim yang memegang kedaulatan bagi seluruh negeri makin bertumbuh. Lambat laun rakyat memandang ke pengadilan kerajaan itu lebih dari pengadilan-pengadilan yang lain dan membawa sengketanya ke royal courts tersebut. Didorong oleh kebutuhan, maka pengadilan raja itupun mengembangkan prosedur modern dan menyerahkan penyelesaian perkara kepada pertimbangan juri. Sementara itu pengadilan-pengadilan lain tetap menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara pelan-pelan pengadilan kerajaan memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung abad pertengahan, ia pada kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di Inggris. Pengadilan feodal, seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang; pengadilan setempat dan pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus kecil; pengadilan gereja hanya mengurusi perkara yang berhubungan dengan agama dan disiplin para pejabat gereja.

Sistem hukum ini berkembang dan berlaku pada negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di Amerika Serikat namun tetap dipengaruhi oleh keadaan sistem sosial yang dianut oleh masing-masing negara jajahan tersebut.

Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya hukum anglo saxon yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena dasar hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.


3.     Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon


Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut :

1.        Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.

2.        Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.

3.        Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.

4.        Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.

5.        Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.

6.        Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.

7.        Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.

8.        Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.

9.        Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.

10.    Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.


4.     Sistem Hukum Indonesia


Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti Indonesia belum memiliki sistem hukumnya sendiri. Hukum-hukum yang berlaku sesaat setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda. Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu hukum nasional ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga sekarang hukum warisan kolonial masih berlaku. Hal lain yang mendasari pendapat tentang sistem hukum Indonesia terlihat ketika terjadinya pergantian UUD/konstitusi negara selama empat kali (UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945). Pergantian UUD tersebut sekaligus mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, karena pada dasarnya berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi negara yang bersangkutan.

Memotret sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, akan ditemukan 4 komponen (4 sub sistem hukum) penting yang keberadaannya saling melengkapi satu sama lain. Keempat sub sistem tersebut masing-masing memiliki ciri sendiri, tetapi dalam geraknya saling mempengaruhi bahkan memperteguh satu sama lainnya.

Keempat sub sistem tersebut adalah :

1.         Hukum Nasionai,

2.         Hukum Barat,

3.         Hukum Islam,

4.         Hukum Adat/kebiasaan.

Hukum nasionai adalah hukum yang dibuat secara formal oleh pemerintah/lembaga pembentuk UU sejak pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hukum ini bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan sebagaimana hierarki perundang-undangan. Sejak proklamasi kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945, era pemerintahan orde baru yang paling banyak membuat hukum-hukum nasional.

Meskipun secara de-fakto dan de-yure Indonesia telah merdeka, tetapi sebagian hukum yang diberlakukan masih berbau barat (terutama Eropa). Adanya hukum-hukum warisan kolonial Belanda yang hingga sekarang masih berlaku, membuktikan bahwa dalam struktur dan sistem hukum kita masih terdapat “ruh” hukum barat. Hukum-hukum tersebut dalam praktiknya sangat berpengaruh dalam usaha penyusunan hukum nasional.

Mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Karena itu,  hukum Islam mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum-hukum nasional. Dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, isi/muatannya banyak dipengaruhi hukum Islam. Demikian pula dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar penyelesaian kasus-kasus orang Islam. Meskipun demikian dalam sistem konstitusi Indonesia, tidak dikenal bahwa Indonesia sebagai negara Agama (Islam), meskipun urusan umat agama juga diatur oleh negara (dengan adanya Departemen Agama). Hal ini menunjuk pada pengertian bahwa Indonesia bukan sebagai “negara sekuler”, yaitu negara yang melepaskan urusan agama dengan urusan pemerintah/negara.

Hukum adat/kebiasaan yang hidup dalam komunitas masyarakat, juga mempunyai pengaruh besar dalam mewarnai berlakunya hukum di Indonesia. Bahkan, keberadaan hukum adat/kebiasaan ini telah ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional. Hal ini terlihat jelas dalam politik hukum Indonesia sebagaimana selalu termuat dalam GBHN. Hanya saja karena hukum adat ini sangat beragam, maka upaya mencari bahan {sharing) yang dapat diberlakukan secara nasional sangatlah tidak gampang.

Keempat sub sistem hukum tersebut di atas telah mewarnai berlakunya hukum di Indonesia sejak bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Hanya sa)a, banyak kalangan berpendapat bahwa hingga saat ini bangsa kita belum menemukan format yang jelas tentang model pengembangan hukumnya. Keempat sub sistem hukum di atas, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum yang benar benar persuasif dan berkeadilan sosial. Oleh karenanya, banyak ahli berpendapat bahwa usaha penyusunan hukum Nasional melalui strategi atau politik hukum Indonesia, pembentuk UU seringkali dihadapkan pada situasi “cross road”, di mana pembentuk UU ditempatkan pada posisi ‘bingung’. Apakah bersumber pada hukum adat sebagaimana amanat GBHN ? Ataukah bersumber pada hukum Islam dan hukum barat. Semua mengandung kelebihan juga kelemahan.


5. Solusi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia


Sebagai jalan keluar dari kondisi keterpurukan sistem hukum sekarang ini adalah tetap menempuh metode klasik yang sudah sering dikedepankan oleh para pakar dan pengamat bidang hukum seperti pembenahan institusi dan aparatur hukum yang meliputi Mahkamah Agung,  Departemen Kehakiman dan HAM (Hakim), Kejaksaan (Jaksa), Kepolisian (Polisi) dan Kepengacaraan (Pengacara). Pembenahan harus dilakukan secara drastis kalau perlu mengganti semua sosok-sosok aparatur yang disebut Achmad Ali sebagai ‘the dirty broom’. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu didiskusikan yaitu penetapan kembali arah kebijakan dibidang hukum, apakah masih berputar pada upaya unifikasi dan kodifikasi hukum, ataukah membiarkan pluralisme hukum berjalan sebagaimana adanya. Diskusi ini akan menjadi menarik bila kita hubungkan dengan bagaimana membentuk dan membangun sistem hukum secara sistemik dan terprogram sehingga seperti kata Sunarjati Hartono kita jangan terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, tetapi lupa dengan hal yang lebih penting yaitu pembangunan hukum.

Dengan semakin dekatnya dimensi kuantitas dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum, dan berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka sepantasnya kita merenungkan kembali untuk memperbaharui sistem hukum kita. Apakah sistem hukum kita ini sekarang masih sesuai dengan kondisi masyarakat kita ataukah mungkin kita mengganti sistem hukum kita dengan mengganti UUD RI 1945 sebagaimana diusulkan oleh Prof. Harun Al-Rasyid apakah kita mampu mengubah wajah hukum kita menjadi hukum yang lebih partisipatoris. Ini adalah tugas berat bagi kita semua dan merupakan beban bangsa ini untuk sama-sama menyadari dan mengilhami bahwa harus ada perbaikan segera. Almarhum Padmo Wahyono pernah mengatakan bahwa pembuatan dan mengadaan konsep-konsep hukum haruslah erat kaitannya dengan masyarakat dimana hukum itu berlaku sehingga tidak menciptakan tata hukum yang ditumbuhkan berdasarkan nalar machtloze normlogiek, tata hukum tanpa keadilan dan kewibawaan. Dengan demikian, kita tidak mengulangi kesalahan lama yaitu merumuskan konsep hukum dengan gaya, bentuk, isi dan jiwa asing sekadar terjemahan dari sekumpulan istilah asing belaka.

Pembangunan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.

Pembangunan bidang hukum dilakukan tidak saja dengan jalan meningkatkan atau menyempurnakan substansi hukum, tetapi juga menertibkan fungsi lembaga dan institusi hukum serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.

Singkatnya, solusi yang dapat diambil dalam usaha pembinaan sistem hukum nasional adalah setiap bidang hukum diperlukan keterpaduan dan keselarasan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat agar supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan mengsinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku dalam proses pembentukan sistem hukum nasional.

Periotas upaya yang segera dilakukan adalah peningkatan kualitas manusia hukum in casu pembentuk, penyelenggara dan masyarakat hukum yang didukung oleh pengadaan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan proses internal dari setiap komponen sistemnya dan untuk menyelenggarakan proses sistem hukum secara global.

0 komentar:

 

Kumpulan Aplikasi Lengkap Komputer,Handphone dan Pengetahuan Pendidikan Published @ 2014 by Ipietoon