PERBANDINGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL DENGAN SISTEM ANGLO SAXON 
 
  
1.     Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental
Asal
 usul sistem Hukum Eropa Kontinental berasal dari Hukum Romawi Kuno 
sebagai modalnya. Sistem hukum ini muncul pada abad ke ketiga belas di 
Jerman dan sejak saat itu senantiasa mengalami perkembangan, perubahan, 
atau menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini yang mengalami 
penyempurnaan yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan 
masyarakat yang berubah sehingga disebut juga sistem Hukum Romawi 
Jerman.
Pengkajian
 hukum Romawi di universitas menjadikan hukum romawi sebagai hukum yang 
dimodernisasi untuk menghadapi zamannya. Dalam pengkajian ini didominasi
 oleh pemikiran mazhab hukum alam.
Sistem
 hukum eropa kontinental cenderung aksiomatik dan kepada hukum yang 
dibuat secara sadar oleh manusia atau hukum perundang-undangan.
Sistem
 hukum ini mula-mula berlaku di daratan eropa barat yaitu di Jerman 
kemudian ke Prancis dan selanjutnya ke Belanda kemudian di negara-negara
 sekitarnya. Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa 
sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya.
Sistem
 hukum ini memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah 
hampir semua aspek kehidupan masyarakat serta sengketa-sengketa yang 
terjadi telah tersedia undang-undang/hukum tertulis, sehingga 
kasus-kasus yang timbul dapat diselesaikan dengan mudah, disamping itu 
dengan telah tersedianya berbagai jenis hukum tertulis akan lebih 
menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyelesaiannya. Sedang 
segi negatifnya, banyak kasus yang timbul sebagai akibat dari kemajuan 
zaman dan peradaban manusia, tidak tersedia undang-undangnya. Sehingga 
kasus ini tidak dapat diselesaikan di pengadilan. Hukum tertulis pada 
suatu saat akan ketinggalan zaman karena sifat statisnya. Oleh
 karena itu, sistem hukum ini tidak menjadi dinamis dan penerapannya 
cenderung kaku karena tugas hakim hanya sekedar sebagai alat 
undang-undang. Hakim tak ubahnya sebagai abdi undang-undang yang tidak 
memiliki kewenangan melakukan penafsiran guna mendapatkan nilai keadilan
 yang sesungguhnya.
2.     Sejarah Sistem Hukum Anglo Saxon
David dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut :
Sebelum      Penaklukan Norman di tahun 1066;
 
Periode
      kedua membentang dari 1066 sampai ke penggabungan Tudors (1485). 
Pada      periode ini berlangsunglah pembentukan Common Law, yaitu 
penerapan sistem      hukum tersebut secara luas dengan menyisihkan 
kaidah-kaidah lokal;
 
Dari
      tahun 1485 sampai 1832. Pada periode ini berkembanglah suatu 
sistem kaidah      lain yang disebut “kaidah equity”. Sistem kaidah ini 
berkembang di samping      Common Law dengan fungsi melengkapi dan pada 
waktu-waktu tertentu juga      menyaingi Common Law.
 
Dari
      tahun 1832 sampai sekarang. Ini merupakan periode modern bagi 
Common Law.      Pada periode ini ia mengalami perkembangan dalam 
penggunaan hukum yang      dibuat atau perundang-undangan. Ia tidak bisa
 lagi hanya mengandalkan pada      perkembangan yang tradisional. Untuk 
menghadapi kehidupan modern, Common      Law semakin menerima campur 
tangan pemerintah dan badan-badan administrasi.
 
Common
 law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku lokal, adalah hukum yang 
berlaku untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan atau deskripsi yang
 demikian itu belum terjadi pada tahun 1066, seperti dapat dilihat pada 
periodisasi di muka. “The assemblies of free men” yang disebut Country 
of Hendred Courts hanya menerapkan kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan 
suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri merupakan karya yang 
semata-mata dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya disebut
 The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka
 bersidang sejak abad ketiga belas.
Kekuasaaan
 raja sebagai hakim yang memegang kedaulatan bagi seluruh negeri makin 
bertumbuh. Lambat laun rakyat memandang ke pengadilan kerajaan itu lebih
 dari pengadilan-pengadilan yang lain dan membawa sengketanya ke royal 
courts tersebut. Didorong oleh kebutuhan, maka pengadilan raja itupun 
mengembangkan prosedur modern dan menyerahkan penyelesaian perkara 
kepada pertimbangan juri. Sementara itu pengadilan-pengadilan lain tetap
 menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara pelan-pelan pengadilan 
kerajaan memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung abad pertengahan, 
ia pada kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di Inggris. 
Pengadilan feodal, seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang; 
pengadilan setempat dan pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus 
kecil; pengadilan gereja hanya mengurusi perkara yang berhubungan dengan
 agama dan disiplin para pejabat gereja.
Sistem
 hukum ini berkembang dan berlaku pada negara-negara bekas jajahan 
Inggris, terutama di Amerika Serikat namun tetap dipengaruhi oleh 
keadaan sistem sosial yang dianut oleh masing-masing negara jajahan 
tersebut.
Sistem
 hukum ini mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya hukum anglo
 saxon yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel dan 
sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena 
hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law). 
Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena 
dasar hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum 
kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.
3.     Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon
Berdasarkan
 uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan 
antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai 
berikut :
1.        Sistem
 hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang 
sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis
 perkara.
2.        Sistem
 hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan
 oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan 
melalui praktek prosedur hukum.
3.        Hukum
 menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein 
sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku 
dan ditaati oleh masyarakat.
4.        Penemuan
 kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian 
sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa 
kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan 
untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5.        Pada
 sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk 
mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu 
lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi 
kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada 
guna mengurangi ketegaran.
6.        Pada
 sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum 
sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7.        Keputusan
 hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental 
tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum
 anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama 
mutlak harus diikuti.
8.        Pada
 sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah 
lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada 
sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada 
kasus tertentu.
9.        Pada
 sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan 
kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada 
sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
10.    Pada
 sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan 
sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang 
sangat kongrit.
4.     Sistem Hukum Indonesia
Sejak
 Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti Indonesia belum 
memiliki sistem hukumnya sendiri. Hukum-hukum yang berlaku sesaat 
setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD
 1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda. 
Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu
 hukum nasional ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga
 sekarang hukum warisan kolonial masih berlaku. Hal lain yang mendasari 
pendapat tentang sistem hukum Indonesia terlihat ketika terjadinya 
pergantian UUD/konstitusi negara selama empat kali (UUD 1945, Konstitusi
 RIS, UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945). Pergantian UUD tersebut 
sekaligus mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, karena pada dasarnya 
berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi negara yang 
bersangkutan.
Memotret
 sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, akan ditemukan 4 
komponen (4 sub sistem hukum) penting yang keberadaannya saling 
melengkapi satu sama lain. Keempat
 sub sistem tersebut masing-masing memiliki ciri sendiri, tetapi dalam 
geraknya saling mempengaruhi bahkan memperteguh satu sama lainnya.
Keempat sub sistem tersebut adalah :
1.         Hukum Nasionai,
2.         Hukum Barat,
3.         Hukum Islam,
4.         Hukum Adat/kebiasaan.
Hukum
 nasionai adalah hukum yang dibuat secara formal oleh pemerintah/lembaga
 pembentuk UU sejak pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hukum
 ini bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan sebagaimana hierarki 
perundang-undangan. Sejak proklamasi kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945, era
 pemerintahan orde baru yang paling banyak membuat hukum-hukum nasional.
Meskipun
 secara de-fakto dan de-yure Indonesia telah merdeka, tetapi sebagian 
hukum yang diberlakukan masih berbau barat (terutama Eropa). Adanya 
hukum-hukum warisan kolonial Belanda yang hingga sekarang masih berlaku,
 membuktikan bahwa dalam struktur dan sistem hukum kita masih terdapat 
“ruh” hukum barat. Hukum-hukum tersebut dalam praktiknya sangat 
berpengaruh dalam usaha penyusunan hukum nasional.
Mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Karena itu,  hukum
 Islam mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan hukum-hukum nasional. 
Dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 
tentang Peradilan Agama, isi/muatannya banyak dipengaruhi hukum Islam. 
Demikian pula dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar 
penyelesaian kasus-kasus orang Islam. Meskipun demikian dalam sistem 
konstitusi Indonesia, tidak dikenal bahwa Indonesia sebagai negara Agama
 (Islam), meskipun urusan umat agama juga diatur oleh negara (dengan 
adanya Departemen Agama). Hal ini menunjuk pada pengertian bahwa 
Indonesia bukan sebagai “negara sekuler”, yaitu negara yang melepaskan 
urusan agama dengan urusan pemerintah/negara.
Hukum
 adat/kebiasaan yang hidup dalam komunitas masyarakat, juga mempunyai 
pengaruh besar dalam mewarnai berlakunya hukum di Indonesia. Bahkan, 
keberadaan hukum adat/kebiasaan ini telah ditempatkan sebagai sumber 
pembentukan hukum nasional. Hal ini terlihat jelas dalam politik hukum 
Indonesia sebagaimana selalu termuat dalam GBHN. Hanya saja karena hukum
 adat ini sangat beragam, maka upaya mencari bahan {sharing) yang dapat 
diberlakukan secara nasional sangatlah tidak gampang.
Keempat
 sub sistem hukum tersebut di atas telah mewarnai berlakunya hukum di 
Indonesia sejak bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Hanya sa)a, banyak 
kalangan berpendapat bahwa hingga saat ini bangsa kita belum menemukan 
format yang jelas tentang model pengembangan hukumnya. Keempat sub 
sistem hukum di atas, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam 
penyusunan hukum yang benar benar persuasif dan berkeadilan sosial. Oleh
 karenanya, banyak ahli berpendapat bahwa usaha penyusunan hukum 
Nasional melalui strategi atau politik hukum Indonesia, pembentuk UU 
seringkali dihadapkan pada situasi “cross road”, di mana pembentuk UU 
ditempatkan pada posisi ‘bingung’. Apakah bersumber pada hukum adat 
sebagaimana amanat GBHN ? Ataukah bersumber pada hukum Islam dan hukum 
barat. Semua mengandung kelebihan juga kelemahan.
5. Solusi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia
Sebagai
 jalan keluar dari kondisi keterpurukan sistem hukum sekarang ini adalah
 tetap menempuh metode klasik yang sudah sering dikedepankan oleh para 
pakar dan pengamat bidang hukum seperti pembenahan institusi dan 
aparatur hukum yang meliputi Mahkamah Agung,  Departemen 
Kehakiman dan HAM (Hakim), Kejaksaan (Jaksa), Kepolisian (Polisi) dan 
Kepengacaraan (Pengacara). Pembenahan harus dilakukan secara drastis 
kalau perlu mengganti semua sosok-sosok aparatur yang disebut Achmad Ali
 sebagai ‘the dirty broom’. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu 
didiskusikan yaitu penetapan kembali arah kebijakan dibidang hukum, 
apakah masih berputar pada upaya unifikasi dan kodifikasi hukum, ataukah
 membiarkan pluralisme hukum berjalan sebagaimana adanya. Diskusi ini 
akan menjadi menarik bila kita hubungkan dengan bagaimana membentuk dan 
membangun sistem hukum secara sistemik dan terprogram sehingga seperti 
kata Sunarjati Hartono kita jangan terjebak dalam rutinitas penegakan 
hukum semata, tetapi lupa dengan hal yang lebih penting yaitu 
pembangunan hukum.
Dengan
 semakin dekatnya dimensi kuantitas dan kualitas kejahatan dan 
pelanggaran terhadap hukum, dan berkembangnya bidang-bidang hukum baru 
yang selama ini tidak dikenal, maka sepantasnya kita merenungkan kembali
 untuk memperbaharui sistem hukum kita. Apakah sistem hukum kita ini 
sekarang masih sesuai dengan kondisi masyarakat kita ataukah mungkin 
kita mengganti sistem hukum kita dengan mengganti UUD RI 1945 
sebagaimana diusulkan oleh Prof. Harun Al-Rasyid apakah kita mampu 
mengubah wajah hukum kita menjadi hukum yang lebih partisipatoris. Ini 
adalah tugas berat bagi kita semua dan merupakan beban bangsa ini untuk 
sama-sama menyadari dan mengilhami bahwa harus ada perbaikan segera. 
Almarhum Padmo Wahyono pernah mengatakan bahwa pembuatan dan mengadaan 
konsep-konsep hukum haruslah erat kaitannya dengan masyarakat dimana 
hukum itu berlaku sehingga tidak menciptakan tata hukum yang ditumbuhkan
 berdasarkan nalar machtloze normlogiek, tata hukum tanpa keadilan dan 
kewibawaan. Dengan demikian, kita tidak mengulangi kesalahan lama yaitu 
merumuskan konsep hukum dengan gaya, bentuk, isi dan jiwa asing sekadar 
terjemahan dari sekumpulan istilah asing belaka.
Pembangunan
 bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan 
hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah 
modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang 
sehingga tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus 
ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus 
berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan 
pembangunan yang menyeluruh.
Pembangunan
 bidang hukum dilakukan tidak saja dengan jalan meningkatkan atau 
menyempurnakan substansi hukum, tetapi juga menertibkan fungsi lembaga 
dan institusi hukum serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak 
hukum.
Singkatnya,
 solusi yang dapat diambil dalam usaha pembinaan sistem hukum nasional 
adalah setiap bidang hukum diperlukan keterpaduan dan keselarasan antara
 pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan 
hukum, profesi hukum dan masyarakat agar supaya pada akhirnya peraturan 
perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu 
kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu 
sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang 
mengarahkan dan mengsinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku 
dalam proses pembentukan sistem hukum nasional.
Periotas
 upaya yang segera dilakukan adalah peningkatan kualitas manusia hukum 
in casu pembentuk, penyelenggara dan masyarakat hukum yang didukung oleh
 pengadaan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan proses internal 
dari setiap komponen sistemnya dan untuk menyelenggarakan proses sistem 
hukum secara global.
 
0 komentar:
Posting Komentar