MAKALAH TEORI PELAKSANAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
dalam kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari hukum syariat Allah SWT baik
itu hubungan kita kepada-Nya (ubudiyyah) maupun hubungan kita kepada
sesama manusia (amaliyyah). Metode hukum islam bersumberkan dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits kemudian para sahabat berijtihad setelah meninggalnya Rasulullah
SAW, para tabi’in dan sesudahnya beristimbat dan menghasilkan perbedaan hasil
ijtihad karena di sebabkan oleh pemahaman akan maksud syari’atdan tingkat
keilmuan serta keadaan pada zamannya.
Islam telah
diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah dating ke Indonesia. Waktu
penjajah Belanda dating ke Indonesia, (Hindia Belanda), bangsa Indonesia telah
menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda telah menganut sistem hukum,
yaitu agama yang dianut di Hindia Belanda, seperti hukum islam, hindu budha,
dan nasrani serta hukum adat bangsa Indonesia. Berlakunya hukum islam bagi sebagian besar penduduk
Hindia Belanda, berkaitan dengan mnculnya kerajaan-kerajaan islam setelah
runthnya Majapahit pada sekitar tahun 1581. Walaupun pada mulanya kedatangan
Belanda yang notabene beragama Kristen protestan ke Indonesia tidak ada
kitannya dengan masalah hukum (agama), namun pada perkembangan selanjutnya,
berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bias menghindari
persentuhan masalah hukum dengan penduduk pribumi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum islam?
2. Apa latar belakang munculnya hukum Islam
di Indonesia ?
3. Apa saja teori-teori hukum islam di
Indonesia?
4. Bagaimana hukum tadarruj dalam
memperjuangkan hukum islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum islam
2. Untuk mengetahui munculnya hukum Islam
di Indonesia
3. Untuk mengetahui teori-teori hukum islam
di Indonesia
4. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum islam
di Indonesia untuk mengetahui hukum tadarruj dalam memperjuangkan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam
Pengertian Hukum Islam (Syari'at
Islam) -
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa
ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang
dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .
Syariat
menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah.
Menurut
Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah
supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan
saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya
dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut
Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun
memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang
aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga
syara’, millah dan diin.
Hukum Islam berarti keseluruhan
ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang
muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi:
- Ilmu Aqoid (keimanan)
- Ilmu Fiqih (pemahan manusia
terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
- Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
Berdasarkan
uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
2.2 Latar Belakang Munculnya Teori
Hukum Islam
Islam telah diterima oleh bangsa
Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang ke
Indonesia (Hindia Belanda), bangsa Indonesia telah menyaksikan kenyataan bahwa
di Hindia Belanda telah menganut sistem hukum, yaitu agama yang dianut di
Hindia Belanda, seperti Hukum Islam, Hindu Budha, dan Nasrani serta hukum adat
bangsa Indonesia.
Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar penduduk
Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah runtuhnya
Majapahit pada sekitar tahun 1581.
Walaupun pada
mulanya kedatangan Belanda yang notabene beragama Kristen Protestan ke
Indonesia tidak ada kaitannya dengan masalah hukum (agama), namun pada
perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya
mereka tidak bisa menghindari persentuhan masalah hukum dengan penduduk
pribumi.
Berhubungan dengan masalah hukum adat
di Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, munculah beberapa
teori-teori hukum diantaranya adalah teori Receptio In Complexu dan teori
Receptie yang muncul sebelum kemerdekaan Indonesia. Tiga teori lainnya, yaitu
teori Receptie Exit, Receptie A Contrario, dan teori Eksistensi muncul setelah Indonesia
merdeka.
2.3 Teori-teori Hukum Islam
1.
Teori Reception In Complexu
Teori Receptio in Complexu ini,
dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg tahun 1845-1925. Teori Receptio In Complexu menyatakan bahwa bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam. Teori Receptio In Complexu ini
telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian
dikenal sebagai Nederlandsch Indie. Contohnya, Statuta Batavia yang saat ini
desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi
yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni
hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W
Freijer menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
2.
Teori Receptie
Teori Receptie dipelopori oleh
Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van Volenhoven pada tahun 1857-1936.
Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan
sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang
terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan
dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori
Reception In Complexu.
Menurut teori Receptie, hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi
orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika sudah diterima atau diresepsi
oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku
tidaknya hukum Islam. Sebagai
contoh teori Receptie saat ini di Indonesia diungkapkan
sebagai berikut.
Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya sebagian kecil yang mmpu
dilaksanakan oleh orang Islam
di Indonesia.
Hukum pidana Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang
dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum pernah berlaku kepada
pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak merdeka sampai saat
ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya secara yuridis
formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba di
zaman kemerdekaan Indonesia.
3. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh
Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda yang berdasarkan teori Receptie bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Dengan demikian, teori Receptie itu harus exit alias keluar
dari tata hukum Indonesia merdeka.
Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD
1945 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2).
Menurut teori Receptie Exit, pemberlakuan hukum islam tidak
harus didasarkan pada hukum adat. Pemahaman demikian kebih dipertegas lagi,
antara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama,
Instruksi
presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompulasi Hukum Islam di Indonesia
(KHI).
4.
Teori Receptie
A Contrario
Teori Receptie Exit yang diperkenalkan
oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori
Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti
lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam
kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Sebagai contoh, umpamanya di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal
perkawinan dan soal warisan diatur berdasarkan hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat boleh
saja dipakai selama itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori
Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Inilah Sayuti Thalib dengan teori Reception A Contrario.
5.
Teori
Eksistensi
Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Reception A Contrario, menurut Ichtijanto S.A,
muncullah teori Eksistensi.
Teori Eksistensi
adalah teori yang menerangkan adanya hukum Islam dan hukum Nasional Indonesia.
Menurut teori ini, eksistensi atau keberadaan hukum Islam dan hukum nasional itu ialah:
a. Ada, dalam arti
hukum Islam berada
dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya.
b. Ada, dalam arti
adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum
nasional.
c. Ada, dalam hukum nasional, dalam arti norma
hukum Islam sebagai
penyaring bahan-bahan hukum
nasional Indonesia.
Berdasarkan teori Eksistensi diatas, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari
itu, hukum Islam merupakan
bahan utama dari hukum nasional.
D. Pengauh Teori- Teori Hukum Islam
Terhadap Tata Hukum di Indonesia
Menurut Ismail Suny, kedudukan hukum
Islam pada masa Hindia Belanda dibagi menjadi dua periode yaitu: Periode
penerimaan hukum Islam sepenuhnya dan Periode penerimaan hukum Islam dan hukum
adat.
Periode penerimaan
hukum Islam sepenuhnya, berlangsung pada masa dianutnya teori Receptio In
Complexu, dengan memberlakukan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam,
karena mereka telah memeluk agama Islam. Sedangkan periode penerimaan hukum
Islam oleh hukum adat berlangsung pada masa dianutnya teori Receptie yang
memberlakukan hukum Islam terhadap orang Islam, apabila hukum Islam itu telah
dikehendaki dan diterima serta menjadi hukum adat mereka. Selanjutnya setelah
Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia dibagi
menjadi dua periode, yaitu penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif atau
Persuasive Source dan penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif atau
Authoritative Source.
Hukum Islam sebagai sumber persuasif yang dalam hukum konstitusi disebut
dengan persuasive source. Yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya
setelah diyakini.
Hukum Islam
sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan Authoritative Source, yakni sebagai sumber hukum yang
langsung memiliki kekuatan hukum.
2.4 Tadarruj dalam Memperjuangkan Hukum Islam
Tadarruj maknanya adalah bertahap dalam melaksanakan
sesuatu. Dalam masalah syariah, bertadarruj adalah dalam metode melaksanakan
atau membangun kembali berlakuna hukum Islam di dalam sebuah negeri yang kita
tidak punya kekuasaan sepenuhnya. Sedangkan masalah hukum kewajibannya, sudah
tidak ada tadarruj lagi. Sebab sejak berakhirnya masa hidup Rasulullah Saw,
syari’at Islam sudah menjadi ajaran yang lengkap dan berlaku secara
keseluruhannya. Maksudnya yaitu nilai kewajiban untuk menjalankan hukum Islam
memang tidak sepotong-sepotong. Semua hukum hudud seperti merajam pezina,
membunuh pembunuh (qishash), memotong tangan pencuri, mencambuk peminum khamar,
membunuh orang yang murtad dan lainnya sudah wajib hukumnya bagi umat Islam.
Belum pernah hukum ini berkurang menjadi setengah wajib atau tidak wajib. Dalam
hal ini memang demikianlah ketentuannya.
Namun
tadarruj yang dimaksud adalah dalam upaya merealisasikan hukum itu pada sebuah
negara yang secara resmi menolak hukum Islam. Sebagai umat Islam, kita hidup di
negeri kafir secara syar’i, yaitu negeri yang tidak mengakui hukum Islam dan
menolak secara tegas untuk melaksanakannya.”
Sesungguhnya, ada beberapa pemahaman
mengenai gagasan tadarruj, akan tetapi semuanya mengerucut pada makna tunggal,
yakni “perjuangan untuk menerapkan
syari’at Islam secara bertahap, bukan secara menyeluruh.” Lebih dari
itu, tadarruj telah dijadikan sebagai metode perjuangan, bahwa metode berfikir
sebagian kaum muslim yang menjadi penganut gagasan ini. Berikut ini, akan kami
ketengahkan beberapa pemahaman mengenai tadarruj.
Pertama, tadarruj sering diartikan dengan penerapan syari’at Islam secara bertahap.
Dengan kata lain, tadarruj
adalah menerapkan atau mengakui hukum kufur yang dianggap dekat dengan syari’at
Islam sebagai tahapan untuk menerapkan syari’at Islam secara sempurna. Contoh tadarruj model ini adalah
partai-partai Islam yang mengikuti pesta demokrasi untuk meraih jabatan
presiden, sebelum mengangkat seorang khalifah. Walaupun, mereka memahami bahwa,
presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan kufur demokratik, akan
tetapi, presiden dianggap sebagai tahapan non syar’iy untuk menuju pembai’atan seorang khalifah. Contoh
lain adalah partai-partai Islam yang melibatkan diri dengan parlemen kufur
untuk mengubah sedikit demi sedikit hukum negara dengan hukum Islam. Dengan
kata lain, penganut tadarruj
telah menjadikan parlemen kufur sebagai tahapan
untuk melakukan perubahan menuju masyarakat Islam, meskipun mereka juga
memahami bahwa parlemen demokratik bertentangan dengan Islam secara diametral.
Tadarruj semacam ini jelas-jelas
bertentangan dengan Islam. Sebab, ia telah menghalalkan segala cara untuk
menerapkan syari’at Islam. Tahapan-tahapan yang mereka tempuh, sesungguhnya
adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Seorang muslim tidak boleh
menghalalkan segala cara untuk menerapkan hukum Allah yang suci. Partai politik
Islam, yang ada di negeri ini pun menempuh cara-cara ini untuk mewujudkan
tujuan mereka. Sayangnya, mereka malah tidak berdaya, bahkan semakin mengendur
dan terwarnai oleh sistem yang ada. Bahkan,
beberapa pemimpin partai Islam yang katanya bersih, tidak tegas berani
menyatakan penerapan syari’at Islam, tatkala ditanya tentang penerapan syari’at
Islam. Bahkan ia mendiamkan berlakunya sistem presidensil yang
bertentangan dengan Islam, padahal ia telah menjadi ketua salah satu lembaga
rakyat di negeri ini.
Kedua, tadarruj juga bermakna, penerapan sebagian syari’at Islam, dan
“berdiam diri” terhadap sebagian hukum-hukum kufur untuk sementara waktu,
sampai tibanya waktu untuk menerapkan syari’at Islam secara sempurna. Contoh
yang paling gamblang adalah apa yang dilakukan oleh anggota-anggota gerakan Islam
di parlemen demokratik. Mereka berdiam, bahkan melibatkan diri dalam
aturan-aturan kufur untuk mengubah hukum-hukum kufur secara bertahap.
Ketiga, tadarruj kadang-kadang juga berhubungan dengan
pemikiran-pemikiran yang menyangkut ‘aqidah, misalnya demokrasi Islam,
sosialisme Islam, dan lain sebagainya. Kadang-kadang juga berhubungan dengan
masalah hukum syari’at, misalnya, seorang wanita muslimah mengenakan jilbab
yang tidak panjang —sebatas lutut—, hingga tiba waktunya mengenakan jilbab yang
sempurna. Tadarruj
kadang-kadang juga berkaitan dengan sistem, misalnya, adanya keinginan sebagian
gerakan Islam yang memasukkan anggotanya ke dalam parlemen kufur, atau
jabatan-jabatan kenegaraan kufur, sebagai tahapan untuk menuju sistem yang
Islam.
Keempat, tadarruj, juga diartikan sebagai upaya untuk menerapkan hukum
syari’at dan berdiam diri terhadap hukum-hukum kufur, dengan harapan semakin
lama akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, hingga seluruh sistem
berubah sesuai dengan syari’at Islam.
Seluruh bentuk dan pemahaman
tadarruj di atas jelas-jelas bertentangan dengan syari’at Islam. Sebab,
pemahaman di atas bertentangan dengan strategi perjuangan yang digariskan oleh
Rasulullah Saw. Untuk mengubah masyarakat, harusnya dilakukan perubahan pada
aspek mendasarnya yakni sistemnya, bukan mengubah secara bertahap pada
aspek-aspek cabangnya. Selain karena tidak efektif cara-cara semacam ini masih
diragukan keislamiannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam
adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk
umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan). Teori-teori hukum Islam di Indonesia diantarnya adalah : Teori Reception In Complexu, Teori Receptie, Teori Receptie Exit, Teori Receptie A Contrario dan teori Eksistensi. Dalam hukum
Islam tadarruj adalah dalam upaya
merealisasikan hukum itu pada sebuah negara yang secara resmi menolak hukum
Islam. Sebagai umat Islam, kita hidup di negeri kafir secara syar’i, yaitu
negeri yang tidak mengakui hukum Islam dan menolak secara tegas untuk
melaksanakannya.